Artikel Utama

Catatan ke-32: Transformasi

31 Januari 2022

Catatan ke-35: Thanks to Diabetes Melitus Type 2 (DMT2)

Catatan ke-35: Thanks to Diabetes Melitus Type 2 (DMT2)


31 Januari 2022 | 

Lho, kena DMT2 kok malahan "terima kasih". Orang yang aneh! Okey, ini alasannya.
Sebelumnya, saya ga menyangka akan menjadi bagian dari penyandang gelar DMT2. Namun sudah garis tangan seperti itu, mau gimana lagi? Muterin waktu ke masa lalu jelas ga bisa. Iya kan..?

Pada umumnya, ada beberapa respon dari orang yang tervonis DMT2, yaitu:
  1. Syok, depresi, stress
  2. Ngomel-ngomel sendiri (ga tahu siapa yg disalahkan).
  3. Meratapi nasib, putus asa
  4. Enjoy saja, cuek
  5. (yang aneh) Berterima kasih

Awalnya, saya mengalami respon yg No.1 itu. Namun saya sangat sadar, hal itu tidak akan merubah keadaan dan akan menghambat produktivitas saya di masa depan. Tindakan yang saya ambil selanjutnya adalah mempelajari tentang DMT2. Apa saja yang saya pelajari?

  1. Akar masalah dari DMT2
  2. Karakteristik DMT2
  3. Dampak jangka pendek dan jangka panjang dari DMT2
  4. Pengelolaan DMT2

Dari proses hampir 4 bulan "berpacaran" dengan DMT2 itu, saya mendapatkan berbagai informasi dan wawasan baru. Termasuk yg terpenting adalah: perubahan pola hidup yang lebih sehat. Karena sebetulnya hal itu merupakan obat PALING AMPUH dari DMT2 dalam jangka panjang.
Namun yang menarik dari itu semua, saya mendapatkan pembelajaran tentang metabolisme tubuh. Hubungan DMT2 dengan sistem pencernaan, enzim, hormon, nutrisi, dll. Hal itu membawa saya untuk berpandangan lebih luas tentang kesehatan, tidak hanya terbatas pada DMT2. 

Jadi, bagi saya, apakah DMT2 merupakan "mudharat" atau "manfaat"?

Setelah saya timbang2, saya berkesimpulan: 

_Thanks to DMT2_

25 Januari 2022

Catatan ke-34: Faktor keturunan yang 10% itu ternyata menjadi salah satu penentu DM

Catatan ke-34: Faktor keturunan yang 10% itu ternyata menjadi salah satu penentu DM


25 Januari 2022 | 

Tulisan ini merupakan lanjutan dari diskusi saya dengan dokter spesialis jantung teman SMA saya yang pernah saya tuliskan sebelumnya dengan judul: "Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA".
 
Saya akui, pemahaman saya agak keliru terkait dengan faktor KETURUNAN pada penderita DMT2...!!! Saya pernah baca jurnal  bahwa resiko DM yang disebabkan oleh faktor keturunan hanya 10%. Artinya apa? 90% DMT2 disebabkan oleh faktor selain keturunan (yaitu: pola hidup). Karena sepertinya belum pernah ada kasus orang normal berubah menjadi DMT2 dalam semalam karena diracun atau disantet... 🙏😁

Menurut teman saya tersebut, faktor keturunan tidak terlepas dari RESIKO DMT2. Ini bukan berarti orang DMT2 anaknya sudah pasti DMT2 juga lho ya... Hati-hati dengan interpretasi ini. Yang ingin saya tekankan adalah RESIKO-nya. Artinya apa? Seseorang yang orang tuanya memiliki riwayat DMT2 harus berhati-hati dengan KEMUNGKINAN dia terkena DMT2.

Teman saya tersebut mencontohkan begini:

Ada dua orang sama-sama obesitas, katakanlah si A dan si B. Orang tua si A punya riwayat DMT2 sedangkan orang tua si B tidak punya riwayat DMT2. Meskipun keduanya punya RESIKO terkena DMT2 yang disebabkan oleh obesitas tersebut, namun si A memiliki peluang terkena DMT2 2x lipat dari pada si B. Hal inilah yang (mungkin) menyebabkan orang sama-sama gemuk namun tidak mesti semuanya terkena DMT2.

Kesalahan pemahaman saya terletak di mana? Saya kira faktor keturunan tersebut merupakan RESIKO yang terpisah (parsial) dan bobotnya hanya 10%. Namun ternyata, dari penjelasan teman saya itu, faktor keturunan merupakan RESIKO pengali. Jadi dia bilang: “Jika kamu mengalami obesitas, dan orang tua kamu pernah ada yang terkena DMT2, maka resiko terkena DMT2 menjadi 2x lipat dari orang yang bapak/ibunya normal”. Kenyataannya, (alm.) ayah saya kena DMT2 di usia 40 tahun, stroke di usia 52 tahun dan serangan/gagal jantung di usia 53 tahun. Mungkin karena beliau hanya minum obat dari dokter namun tidak mau merubah pola hidup (cerita ibu saya).

Di sinilah letak edukasi sangat penting! Bagi siapa saja yang terkena DMT2, sebaiknya mulai menerapkan pola hidup sehat agar: 1) Terhindar dari komplikasi akibat GD tinggi terus-terusan, dan 2) Memberikan contoh pola hidup sehat kepada anak-anaknya agar mereka terhindar dari resiko yang lebih besar terkena DMT2.

Faktor keturunan + Pola hidup sehat = (masih ada) RESIKO DMT2 sebanyak 10%
Faktor keturunan + Pola hidup buruk = Fixed kena DMT2
Saya sudah mengalaminya....!!!
Faktor keturunan + Pola hidup buruk => Obesitas => Fix DMT2.

Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika interpretasi saya masih banyak kelirunya.... 🙏🙏🙏

23 Januari 2022

Catatan ke-33: Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA

Catatan ke-33: Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA


23 Januari 2022 | 

Tadi sore sekitar habis Asar, saya berkesempatan untuk diskusi via telp. tentang DM dengan teman SMA saya. Dia teman satu kos dan sekarang menjadi dokter spesialis jantung. Dia agak terkejut juga ketika tahu bahwa saya terkena DM. Namun itu bukan point utamanya. Yang menjadi fokus pembicaraan adalah pencegahan komplikasi dari DM itu sendiri.

Mungkin sebagian besar anggota grup ini telah mengetahui bahaya dari DM, yaitu berbagai macam kemungkinan resiko komplikasi. Kalau GD tinggi itu mungkin ga terlalu terasa efeknya secara langsung, namun ketika GD tinggi terus-terusan, hal itu akan menyebabkan resiko komplikasi ke berbagai organ vital tubuh. Bisa jadi otak, jantung, ginjal, mata, dan sebagainya. Karena semua organ di tubuh terkoneksi dengan pembuluh darah sehingga kualitas darah yang jelek (GD tinggi) akan memberikan dampak negatif pada organ-organ tersebut.

Fokus dari diskusi saya dengan dia adalah tentang plak di pembuluh darah. Dan SALAH SATU pemicu terjadinya plak tersebut adalah GD tinggi (DM). Jadi meskipun HbA1C dan resistensi insulin sudah turun, bukan berarti aman. Mengapa? Karena selama GD tinggi (yang kita belum tahu kapan mulainya), sebenarnya telah terjadi endapan plak pada pembuluh darah. Plak itu akan luntur dalam jangka waktu cukup lama, sekitar 1-5 tahun (kata dia). Oleh karena itu, orang yang telah terdiagnosa DM, sebaiknya tetap mengelola DM-nya dengan baik agar tidak terjadi penyumbatan pada pembuluh darah.
Teman saya itu mengakui bahwa hasil HbA1C saya baik (5% = 90-an mg/dL) dan resistensi insulin saya juga baik (1,4 < 2,0). BMI saya sudah bagus karena sudah masuk ke kondisi ideal dari yang semula obesitas tingkat 1. Namun demikian, dia sangat menyarankan saya untuk menjaga semua indikator tersebut. Berapa lama? Ya selama mungkin! Agar plak-plak yang telah terbentuk di pembuluh darah saya dapat berkurang. Apalagi saya cerita bahwa beberapa komplikasi DM telah saya rasakan sebelumnya (seperti: penglihatan kadang kabur, sering masuk angin, infeksi telinga setahun lebih, dll.). Saya bilang bahwa setelah treatment IF, LK dan Olah raga selama 3 bulan, semua gejala tersebuh hilang. Namun bukan berarti saya sudah sembuh. Bekas/dampak yang ditimbulkan oleh GD tinggi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, yaitu kondisi plak dalam pembuluh darah tidak dapat hilang dengan cepat. Dia juga menyinggung tentang profil lemak yang berpotensi menambah plak tersebut, serta pengelolaan stress yang baik (Ojo mikir nemen-nemen sing gawe stress...!!!). Dan yang paling menarik dari statement-nya setelah tahu saya melakukan IF 16 jam, LK dan olga serta hanya minum obat GD (metformin) 4 hari saja di awal diagnosa adalah: "Jika pasien DM bisa mengelola pola hidupnya dengan baik, sebenarnya obat merupakan opsi terakhir". 

Dari pembicaraan tersebut saya menarik kesimpulan:
  1. DM itu hanya salah satu penyebab dari gangguan kesehatan, karena jika dilihat secara komprehensif, kegagalan organ vital dapat disebabkan oleh hal selain DM
  2. Memang DM merupakan "mother of disease", namun demikian saya tidak boleh abai dengan penyebab lainnya, seperti profil kolesterol yang buruk, serta keseimbangan enzim dan hormon sebagai penyokong sistem metabolisme tubuh
  3. Pengelolaan stress merupakan satu hal penting yang harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan metabolisme.
  4. Diet terbaik (menurut) saya adalah diet dengan komposisi nutrisi yang cukup dan seimbang, serta harus dapat dilakukan dalam JANGKA PANJANG. 

Ternyata DM bukan sesuatu yang ngeri-ngeri amat asal bisa mengelolanya dengan baik. Memang butuh banyak informasi untuk tahu tentang cara-cara mengelola kesehatan secara komprehensif. Namun abai terhadap DM sangat berpotensi untuk memicu terjadinya stroke, gagal ginjal, serangan jantung, berkurangnya fungsi syaraf dan penyakit "berat" lainnya. 

Jika boleh saya mengatakan bahwa berfikir untuk "hanya" menurunkan GD adalah sesuatu yang "kecil". Masih ada hal "besar" lain yg berpengaruh pada kesehatan metabolisme tubuh. Itu semua tergantung dari mindset yang kita bangun. Karena MINDSET merupakan pondasi untuk BERPERILAKU lebih sehat. 

Semoga bermanfaat...
Catatan ke-32: Transformasi

Catatan ke-32: Transformasi


23 Januari 2022

Perubahan cukup ekstrim yang membuat saya senang namun "menghancurkan" hati orang-orang di sekitar saya (kecuali istri saya). 

Pada awal saya terdiagnosis DM pada 30 Sept 2021, pikiran saya yang pertama adalah agar bisa segera pulih, mencegah komplikasi. Hasil belajar saya di awal kena DM adalah mengurangi BB. Ya! Karena kelebihan lemak menimbulkan resistensi insulin dan berbagai macam inflamasi. Akhirnya sy membuat target turun BB ke BMI ideal. Waktu itu awal melakukan treatment pada minggu pertama Oktober 2021, seingat saya BB = 83-85 Kg. Sekarang, BB sudah ideal di 70 Kg. Alhamdulillah....

Namun demikian, ada yg ga terima dengan penurunan BB saya yg cukup ekstrim, sekitar 15 kg dlm waktu 3 bulan. Itulah persepsi orang... Karena sebelumnya sy terlihat montok (gendut), sekarang langsing (ideal). Namun apabila persepsi itu saya ikuti, maka tentu akan menggoyahkan tekat saya dalam memperbaiki kondisi kesehatan saya. 

Berdasarkan pengalaman saya, bagi yg baru kena DMT2, evaluasi berat badan (BB) dulu. Klo overweight, apalagi obesitas, lakukan penurunan BB menuju ke BB ideal. Mau pakai IF, diet keto, defisit kalori, silahkan... Asal pertimbangkan kondisi tubuh. Hasil penurunan BB tergantung dr diet yg dipilih dan konsistensinya.

Ketika sudah ideal, pertahankan BB tsb. Toh jika BB ideal, rasa sehat akan bertambah. Enteng, ga mudah capek, dan lebih bersemangat. 

Catatan saya, ada perbedaan BB turun karena diet vs BB turun karena DM. Kalau makan banyak tp BB turun, itu menandakan resistensi insulin tinggi. Namun jika BB turun karena diet, penurunan tsb memang dikarenakan asupan glukosa rendah sehingga proses pembakaran lemak tubuh (ketosis) berlangsung. Jika resistensi insulin turun, maka BB akan stabil.

Setelah BB ideal, resistensi insulin turun, mulai fokus pada perbaikan sistem pencernaan. Yang saya lakukan adalah konsumsi probiotik agar bakteri baik (mikrobiom) lebih banyak sehingga keseimbangan enzim dan hormon dapat lebih ideal. Paling tidak, itu yg saya pahami sd saat ini.

Proses ketika menurunkan BB itulah kunci dari treatment DM. Karena pada proses itu, terjadi pembiasaan "New Normal" terkait makanan dan minuman yg kita konsumsi. Contoh: awalnya sy melakukan diet low karbo utk mengejar "kesembuhan" DM saya. Namun seiring dg proses, saat ini malah ga tertarik utk makan nasi dkk. Bukannya benci nasi, namun kebiasaan baru itulah yg menyebabkan saya lebih memilih sayuran dr pada nasi, mie dll. Mindset berubah dari "makan enak" menjadi "kecukupan nutrisi". 

Melakukan treatment sambil belajar merupakan langkah ideal. Saya jadinya tahu alasan2 dibalik treatment yang saya lakukan tersebut. Hal itu akan menambah dan mempertahankan motivasi dalam mengubah pola hidup. Tentunya dalam jangka panjang.

Semua proses butuh perjuangan dan "laku prihatin", khususnya bagi yg DM. 

Semoga manfaat 🙏🙏🙏

22 Januari 2022

Catatan ke-31: Mengawali pelajaran tentang "Microbiome"

Catatan ke-31: Mengawali pelajaran tentang "Microbiome"


22 Januari 2022 | 

Saya tertarik dengan konsep ini:

Akar masalah DM tipe 2 sebenarnya bukan berhenti di sel beta pankreas dan resistensi insulin, namun lebih jauh dari itu, yaitu bakteri yang ada di usus kita (microbiome). 

Menurut saya, terlalu banyak pembahasan tentang gejala-gejala (symptoms) DM tipe 2, namun masih sedikit yg membahas akar masalahnya. Padahal dengan tahu akar masalah maka masalah tersebut akan dapat diatasi dengan tepat dan efektif (itu pelajaran yg saya dapat dr promotor ketika konsultasi proposal disertasi)

16 Januari 2022

Catatan ke-30: Hubungan GD Puasa, GD2JPP dan Homa-B sebelum divonis DMT2

Catatan ke-30: Hubungan GD Puasa, GD2JPP dan Homa-B sebelum divonis DMT2


16 Januari 2022 | 

Saya ingin melanjutkan postingan saya tentang isi dari jurnal "Type 2 diabetes: Etiology and reversibility" yang ditulis oleh Roy Taylor pada tahun 2013. Postingan saya sebelumnya dapat dibaca melalui: "Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya".

Dalam jurnal tersebut, saya tertarik pada 3 buah gambar yang disusun berurutan dari atas ke bawah. Di mana, gambar tersebut menunjukkan hubungan GD Puasa, GD2JPP dan Homa-B sebelum divonis DMT2. Satuan waktu (tahun) dalam gambar tersebut dimulai dari beberapa tahun sebelum seseorang divonis mengidap DMT2, yang ditandai dengan hasil Gula Darah Puasa (GDP) sekitar 7,5 mmol (135 mg/dL), GD2JPP sekitar 12 mmol (216 mg/dL) dan HOMA-B sekitar 60-an %.
Jujur sekali, saya ngeri setelah melihat grafik itu karena batasan2 dari "vonis" DM tersebut telah saya lalui semuanya. GD Puasa pernah 307 mg/dL dan Homa-B tinggal 47,1%. Ternyata saya memang positif DMT2. Tapi ga apa-apa, saya sudah menerima dan sekarang berfikir untuk menerapkan solusinya.


Yang menarik dari grafik tersebut (dan uraian dalam jurnal) bahwa sebenarnya sebelum seseorang divonis DMT2, sudah ada tanda-tandanya. Paling tidak, 1-2 tahun sebelum vonis itu datang, sudah ada tanda-tandanya. Ini yang disebut dengan kondisi Pre-Diabetes (menurut saya). Ketika GD Puasa & GD2JPP naik, ternyata di saat itu mulai terjadi penurunan kapasitas sel beta pankreas. Itu harus disikapi dengan serius dan hati-hati. Dan itu terjadi bukan seminggu-dua minggu, namun 1-2 tahun. 

Kalau boleh saya ingin memberikan analogi pada mesin mobil yang mengalami overheat (karena saya pernah mengalaminya sendiri):
Ketika sistem pendingin mobil mulai bermasalah yang disebabkan oleh: air radiator kotor, radiator mampet, adanya kebocoran di sistem pendinginan, maka otomatis proses pendinginan mesin tidak maksimal. Pada kondisi itu, mungkin indikator temperatur pada dashboard mobil akan naik. Nah, driver yang baik ketika melihat melihat indikator temperatur naik, pasti akan berhenti untuk mendinginkan mesin mobil. Paling tidak membuka kap mobil dan memeriksa kondisi dari sistem pendinginan tersebut. Tujuannya apa? Agar tidak terjadi overheat mesin mobil sehingga membuat mesin jadi rusak. Bagi driver yang "asal-asalan" injak gas (kurang pengalaman), dia ga peduli indikator temperatur naik. Yang penting mobil tetap jalan dan sampai tujuan, meskipun resiko mesin rusak semakin besar.
Tanda-tanda DMT2 sebenarnya dapat dirasakan sebelumnya. Ini terjadi pada kondisi Pre-Diabetes. Pada analogi di atas, hal ini terjadi ketika indikator temperatur naik. Apa yang seharusnya dilakukan? Ya berhenti dan menepi. Periksa kondisi tubuh dengan melakukan beberapa tes lab agar tahu dengan jelas keadaannya. Jangan asal hajar saja dan berasumsi yang macam-macam. Bisa cek GD Puasa, HbA1C atau Insulin Puasa (untuk tahu resistensi insulin dan kapasitas sel beta pankreas). Jika hasil tes memang menyatakan pada kondisi Pre-Diabetes, ya lakukan treatment atau ikhtiyar untuk mengembalikan kondisi tubuh ke normal, dan jangan sampai masuk ke kondisi DMT2.

Percaya saja, biaya turun mesin mobil lebih mahal dari pada memperbaiki sistem pendingin mobil (radiator dkk.). Saya jamin akan menyesal di belakang hari. Hal ini telah saya alami ketika mesin mobil saya rusak saat naik ke gunung. Padahal sebelumnya saya sudah kepikiran untuk service radiator (pada akhirnya tidak saya lakukan karena malas dan waktu terbatas). Jika dibandingkan, biaya service radiator sebesar Rp200an ribu jauh lebih murah dari pada biaya turun mesin mobil diesel sebesar Rp8 jutaan. Bahkan kalaupun ganti radiator yang baru seharga Rp1 jutaan, itu masih jauh lebih murah dari pada biaya turun mesin.

Sayangnya, organ dalam kita dijatah 1 saja. Seperti pankreas sebagai penghasil insulin (terkait tes HOMA-B), jumlahnya hanya 1. Teknologi transplantasi pankreas masih dalam uji coba dan terus dikembangkan. Yang pasti akan sangat mahal dan beresiko. Lain dengan spare part mobil yang jumlahnya sangat banyak. Mau ganti mesin (switch engine) juga bisa. 
Mungkin rekan-rekan di sini yang memang sudah positif terkena DMT2 sebaiknya menerima kondisi dan tetap berikhtiyar untuk memperbaiki kualitas kesehatannya. Ada berbagai metode, namun pertimbangkan yang dapat dilakukan dengan enjoy dan BERKELANJUTAN (jangka panjang). Mau diet ketofastosis, low karbo, very low karbo, atau pakai herbal/medis, silahkan saja. Namun pelajari resiko dari masing-masing treatment tersebut. Yang jelas, berfikirlah untuk keberlanjutan jangka panjang. 

Yang sedang menyongsong DMT2 (kondisi Pre-Diabet), belajarlah dari yang telah divonis DMT2. Berhentilah sejenak dan berfikirlah untuk mulai mengubah pola hidup sehat. Gunakan otak dan sumber daya yang ada untuk belajar tentang kesehatan. Sudah banyak sumber di jaman internet saat ini. Jangan sampai terlanjur masuk ke kondisi DMT2 sehingga akan memerlukan "laku prihatin" yang lebih berat dalam mengelola kondisi tersebut.

Dan bagi yang masih normal, bersyukurlah. Jaga amanah Tuhan yang berupa kesehatan tersebut, karena itu merupakan salah satu aset yang "mahal" ketika sudah merasakan sakit. Mulai buka pikiran dengan pengetahuan tentang kesehatan. 

Jangan sampai seperti saya, abai terhadap "indikator" DMT2 yang telah menyala sahingga divonis DMT2.

Semoga tulisan ini bermanfaat....
Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya

Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya


16 Januari 2022 | 

Sebelumnya saya berterima kasih pada Dr. Jason Fung yang telah menyebarkan video seminar/kuliahnya tentang mengelola diabetes. Video itu berjudul: "Two Big Lies about Type 2 Diabetes" (link: https://youtu.be/FcLoaVNQ3rc). Saya telusuri video-video dari Dr. Fung tersebut dan memang terjadi pro dan kontra. Yang mempermasalahkan bukan orang awam biasa seperti saya, namun para ahli/pakar kesehatan. Namun apapun itu, melalui video tersebut, saya dapat mengubah mindset dan mendapatkan hasil positif secara signifikan setelah melakukan treatment yang disarankan oleh Dr. Fung. Thanks Dr. Fung....

Sebelum saya divonis DM "tanpa sengaja" dengan hasil lab GD Puasa 307 pada 30 September 2021, sebenarnya beberapa komplikasi telah saya alami. Namun saya ga sadar jika itu merupakan komplikasi akibat GD tinggi. Mau tahu komplikasi apa saja? Ini listnya:
  1. Infeksi telinga kanan selama 1 tahunan, mulai awal 2020
  2. Caries (pengeroposan) gigi geraham kiri atas selama 3 bulan
  3. Sering pipis dan selalu haus 
  4. Sering masuk angin (2-3 kali seminggu selalu blonyohan/kerokan minyak GPU)
  5. Tidak fokus dalam berfikir
  6. Makan banyak tapi BB turun

Semalam, saya tonton video itu lagi dan mencoba mencari salah satu jurnal yang digunakan Dr. Fung dalam seminar/kuliah-nya tersebut. Akhirnya ketemu dan saya sangat tertarik untuk membacanya. 
Jurnal yang ditulis oleh Roy Taylor dengan judul "Type 2 diabetes: Etiology and reversibility" yang diterbitkan di Jurnal Diabetes Care volume 36(4) tahun 2013 halaman 1047–1055 (link: https://doi.org/10.2337/dc12-1805), cukup membuat saya “tersenyum”. Ternyata (mungkin) beranjak dari jurnal tersebut, para “pakar” diet, bisa meng-klaim bahwa Diabetes Tipe 2 (DMT2) dapat diatasi tanpa obat medis. Saya paham itu, hahaha.....

Dalam jurnal tersebut, salah satu bagian terpenting yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini adalah di bagian “Implication for management of type 2 diabetes”. Saya kutip sedikit statement yang saya terjemahkan bebas:
“Peran aktivitas fisik harus diperhatikan. Peningkatan aktivitas fisik harian menyebabkan penurunan "fatty liver” (43), dan satu jenis olahraga secara substansial menurunkan lipogenesis de novo (39) dan VLDL (very low density lipoprotein) plasma (92). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontrol kalori yang dikombinasikan dengan olahraga jauh lebih berhasil daripada pembatasan kalori saja (93). Namun, program olahraga saja tidak menghasilkan penurunan berat badan bagi orang paruh baya yang kelebihan berat badan (94). Penurunan berat badan awal yang diperlukan membutuhkan pengurangan substansial dalam asupan energi. Setelah berat badan turun, kestabilan berat badan paling efektif  dapat dicapai dengan kombinasi diet dan aktivitas fisik. Latihan aerobik dan pembatasan kalori merupakan upaya yang efektif (95). Faktor terpenting adalah keberlanjutan.”
Saya memegang kuat kalimat terakhir dari kutipan di atas. KEBERLANJUTAN...!!! Jadi dalam mindset saya, apabila ingin menjaga agar DM tidak mengarah pada komplikasi, lakukan upaya yang BERKELANJUTAN. Oleh karena itu, tujuan utama saya selama 3 bulan melakukan Intermittent Fasting (IF), Diet low karbo dan olah raga beban/HIIT sebenarnya untuk membentuk perilaku baru (NEW NORMAL) dalam mengelola diabetes yang saya alami.

HbA1C saya boleh turun dari 8,2% menjadi 5,0%. Berat badan saya yang semula sekitar 85 Kg boleh turun menjadi 70 Kg dalam waktu 3 bulan ini sehingga saya masuk ke dalam BMI ideal (TB = 173 cm; BB = 70 Kg). Resistensi insulin (HOMA-IR) = 1,4 yang menunjukkan saya normal ( HOMA-IR < 2). Namun mau berapa lama mempertahankan kondisi itu jika perilaku tidak berubah? Jawaban logisnya adalah PERUBAHAN PERILAKU. Ingat, saya dulu orang normal, tidak punya masalah apa2 terkait sindrom metabolik. Namun karena perilaku makan banyak jarang gerak, akhirnya saya mengalami obesitas dan akhirnya berakhir di DMT2. Saya ga mau DMT2 berlanjut ke komplikasi.

Pemikiran saya:
Jika ingin tahu tentang kondisi tubuh terkait DMT2, maka lakukan screening awal. Ga usah menebak-nebak apakah saya kena DMT2 atau ga? Lha wong sudah masuk ke Pre-Diabetes saja sudah “zona kuning” kok. Tes-tes yang sudah pernah saya lakukan antara lain:
  1. GD Puasa
  2. Glucose Tolerance Test (GTT)
  3. Insulin puasa (untuk menentukan HOMA-IR & HOMA-B)
  4. Profil lemak

Dari hasil tes tersebut, saya positif DM dan lebih spesifik lagi, masalah saya di penurunan kapasitas sel beta pankreas. Dengan demikian, saya bisa fokus pada AKAR MASALAH DMT2 yang saya hadapi. 
Namun dari itu semua, saya menekankan pada KEBERLANJUTAN treatment yang saya lakukan agar kualitas hidup lebih baik, lebih sehat sehingga mimpi besar saya dapat saya capai. Klo sakit, produktivitas hidup akan berkurang. Yakin deh....

Semoga bermanfaat....

07 Januari 2022

Catatan ke-26: Mengawali buku THANKS TO DMT2 (3 Bulan menurunkan resistensi insulin)

Catatan ke-26: Mengawali buku THANKS TO DMT2 (3 Bulan menurunkan resistensi insulin)

7 Januari 2022 | 

Bismillah.... Penulisan buku Original Story ini dimulai. Niatan yang semula hanya untuk "warisan" kepada anak-anak dan keluarga, akhirnya menyebar dan membesar agar dapat dijadikan inspirasi oleh banyak orang. Sebetulnya tujuannya ga muluk-muluk sih... Lha wong cerita kok tentang penyakit yang diderita.

Namuuun..., semoga buku ini nanti dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi. Itu saja sih...



02 Januari 2022

Catatan ke-24: Kunci awal menangani diabetes type 2 (DMT2) adalah MINDSET

Catatan ke-24: Kunci awal menangani diabetes type 2 (DMT2) adalah MINDSET


2 Januari 2022

Kemakan oleh mindset sendiri, itulah yang terjadi pada diri saya. Terlebih, sekarang saya tengah berjuang dalam "laku prihatin" untuk mengembalikan sensitivitas insulin dan regenerasi sel Beta Pankreas. Ceritanya begini:

Saya ingat waktu itu tahun 2007, ketika saya kerja menjadi admin di Magister Manajemen Agribisnis (MMA) UGM sambil menjalani beasiswa S2. Kelebihan uang bagi seorang bujangan membuat saya kalap dan lari ke makanan. Apalagi ketika kuliah S1, semua serba terbatas. Tubuh yang awalnya ideal (TB 173; BB 65) beranjak tambun. Dosen saya pernah "mengingatkan" untuk ga berlebihan ketika makan krn resiko penyakit. Waktu itu saya jawab: "Ga apa-apa pak. Saya konsumsi herbal juga kok. Biar obat yang menangkal penyakit saya" (kira-kira begitu). 

Mulai dari saat itu, mindset saya adalah: "Kalau sakit ya minum obat. Soal makanan sehari-hari, sikat aja apa yang ada." Dan ga terasa, dalam perjalanan hidup saya, pernah mencapai rekor 95 Kg. Kereeen....!!! Makmur deh!

Namun ternyata MINDSET saya salah! Obat ga bisa mencegah seseorang terkena DMT2 jika pola makannya awur2an dan cenderung berlebihan. Apalagi jika memang sudah positif DMT2, hanya mengandalkan obat saja ga akan mengatasi akar masalahnya! Dan saat ini saya telah termakan oleh MINDSET saya tersebut.

Keyakinan saya itu terkonfirmasi ketika kemarin malam saya silaturahmi ke salah satu teman. Ketika dia melihat perubahan pada tubuh saya, dia tanya: "Kowe kenopo mas, kok kurus?" Ya saya jawab jika saya kena DMT2 dan sedang berusaha memulihkan kondisi. Cara yang saya lakukan adalah Intermittent Fasting, diet Low Karbo dan olah raga beban (HIIT), bla...bla...bla.... Yang menarik bukan di bagian itunya, namun ketika dia membuka cerita tentang kronologi ayahnya meninggal lantaran gagal ginjal yg diawali dengan DMT2 beberapa tahun sebelumnya. Ceritanya begini:

Pada saat awal ayahnya kena DMT2, sebenarnya ada 2 orang tetangganya yang juga kena. Ayahnya itu setiap bulan rajin ke dokter, kontrol dan pulang bawa obat. Selama beberapa tahun itu, ayahnya konsumsi obat DM. Namun..., ayahnya ga mau meninggalkan makanan enak-enak, alias ga mau mengubah pola hidup. Dosis obat yg semula sedikit, lama-kelamaan meningkat dan akhirnya menggunakan injeksi insulin. Mindset ayahnya adalah: "Sudah minum obat ya boleh makan seperti orang normal, sama ketika sebelum terkena DMT2." Pada akhirnya ginjalnya yang bermasalah.

Teman saya melanjutkan ceritanya tentang dua orang tetangganya yang sama-sama kena DMT2. Yang jelas saat ini mereka masih sehat. Kontrol ke dokter tetap dilakukan, namun mereka bisa mengubah pola makan. Ditambah dengan rajin puasa.

Intinya: 
Mengawali penanganan atau manajemen DMT2 tanpa MINDSET yang benar, hasilnya ga akan memuaskan. Bagi saya, MINDSET yang benar itu adalah membentuk NEW NORMAL, dengan mengelola makanan, olah raga, pikiran dan spiritual. Lupakan "NORMAL" seperti saat sebelum kena DMT2 karena meskipun RESISTENSI INSULIN sudah menurun dan SEL BETA PANKREAS telah bertambah, namun pola hidup yang salah tetap akan beresiko menyebabkan DMT2 lagi. Apalagi saat ini banyak orang yg berfikir hanya MENORMALKAN GD, bukan memperbaiki akar masalahnya.

Jangan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kali.

14 Desember 2021

Catatan ke-17: Mulai konsen untuk pembenahan sel Beta Pankreas (sel penghasil hormon Insulin)

Catatan ke-17: Mulai konsen untuk pembenahan sel Beta Pankreas (sel penghasil hormon Insulin)



14 Desember 2021 |

Tadi tidur jam 01.30 pagi. Subuh bangun sebentar lalu tidur lagi. Bangun Tahu2 jam 9 pagi. Langsung cek GDP utk koleksi data. Alhamdulillah 2 digit setelah IF 12 jam.

Namun yang menarik dari searching semalam, omega-3 direkomendasikan beberapa pakar kesehatan utk dikonsumsi jika ingin memperbaiki Beta Cell di Pankreas.

Dimulai dari hal ini, saya tertarik pada recovery atau (mungkin) regenerasi sel Beta Pankreas yang merupakan produsen insulin alami dalam tubuh. Sepemahaman saya sampai dengan saat ini, penyebab DMT2 (Diabetes Melitus Tipe 2) adalah:
  1. Resistensi Insulin, yang membuat glukosa di dalam darah tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh.
  2. Penurunan kapasitas Sel Beta Pankreas, yang menyebabkan produksi insulin tidak cukup untuk membawa glukosa agar dapat masuk ke dalam sel.
Jadi secara logika, bagaimana caranya untuk meningkatkan kapasitas sel Beta Pankreas? Itu masih menjadi suatu pertanyaan besar bagi penyintas diabetes. Jika masalah itu tersolusikan, InsyaAllah penyintas diabetes akan memiliki harapan lebih baik untuk mengelola kesehatannya.

Okey deh, kapan2 lanjut searching jurnal ilmiahnya. Tambah semangat utk mempelajari regenerasi Beta Cell... 👍👍👍

Nah..., berikut ini ada sebuah jurnal yang berkaitan dengan bahan baku Omega-3 yang lumayan tinggi namun berasal dari bahan non-ikan. Alias, bahan baku itu bisa dibudidayakan. 

"...konsumsi biji SI (Sacha Inchi), minyak dan kue tanpa minyak menghasilkan banyak manfaat kesehatan, terutama dalam pengelolaan penyakit radang kronis dan dengan demikian, dapat membantu dalam memerangi epidemi global penyakit kronis..."

"Karena minyak biji SI rentan terhadap oksidasi pada suhu tinggi; diperlukan identifikasi metode pemrosesan dan teknologi enkapsulasi yang sesuai untuk pengiriman asam lemak omega-3 yang efisien. Hal ini juga menjadi penting dan penting untuk mengkonsolidasikan data yang ada dan temuan terbaru untuk menentukan kondisi produksi yang optimal, aspek fungsional, keamanan, aplikasi makanan dan kemanjuran benih SI dan produk sampingannya, yang tidak hanya akan melepaskan manfaat kesehatan terkait tetapi juga akan membantu dalam pengembangan makanan bernilai tambah, nutraceuticals dan aditif makanan di masa depan."

Sumber: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0308814621024651 


04 Desember 2021

Catatan ke-11: Dua buah jurnal sebagai petunjuk ke percepatan recovery DM

Catatan ke-11: Dua buah jurnal sebagai petunjuk ke percepatan recovery DM


4 Desember 2021 |

Salah satu jurnal ilmiah yang menarik dan ingin sekali saya pelajari. Ya, tentang Flavanoid. Kapan-kapan saya share hasilnya. Masih berkutat dengan literature untuk revisi disertasi... 😔😫😭

"Oleh karena itu, mempertahankan kelangsungan hidup sel beta pada pasien yang terdiagnosis dini dan memulihkan massa/fungsi sel beta pada pasien diabetes kronis akan menjadi alasan untuk pengobatan diabetes jangka panjang. Semakin banyak penelitian telah menunjukkan bahwa fitokimia, khususnya flavonoid, memiliki efek menguntungkan pada pencegahan dan pengobatan diabetes [8-11]. Selain itu, beberapa efek peningkatan kesehatan telah ditunjukkan untuk flavonoid termasuk antioksidan, anti-inflamasi, nefroprotektif, dan sifat antikanker [12-14]."


Bagi yang menggunakan cara-cara herbal, saya nemu jurnal yang membahas tentang efek "obat tradisional" bagi regenerasi sel beta-pankreas. InsyaAllah nanti juga akan saya pelajari. 

Kesimpulan:
"Kerusakan pankreas adalah penentu utama untuk timbulnya hiperglikemia dan perkembangan komplikasi pada pasien diabetes yang tergantung insulin (DM Type 1). Mencegah degenerasi sel beta, merangsang regenerasi endogen pankreas, dan transplantasi pankreas akan menjadi pendekatan penting untuk manajemen DM Type 1. Saat ini, terbatasnya pasokan donor pankreas membuat transplantasi jaringan tidak dapat digunakan pada pasien. Oleh karena itu, pengembangan produk fitokimia dengan sifat regeneratif sel beta dapat menjadi pilihan yang menjanjikan bagi pasien yang kehilangan massa sel pankreas fungsionalnya. Di antara ratusan tanaman yang telah diteliti untuk diabetes, sebagian kecil telah menunjukkan sifat regeneratif, yang dijelaskan dalam makalah ini. Namun, untuk sebagian besar ramuan ini, jumlah penelitian yang mendukung efek menguntungkannya pada pankreas tidak cukup. Hanya A. sativum, A. indica, berberine, C. sativus, G. sylvestre, J. regia, M. charantia, dan N. sativa memiliki lebih dari satu bukti untuk sifat regeneratifnya sehingga konsumsinya dapat mengurangi ketergantungan insulin pada pasien diabetes. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas efek protektif/regeneratif fitokimia pada pankreas masih harus dijelaskan. Namun, sifat antioksidan fitokimia mungkin sebagian memediasi tindakan protektif mereka terhadap apoptosis sel beta pankreas. Terlepas dari mekanisme molekuler, tampaknya pasien pada tahap awal diabetes dapat diobati dengan tanaman ini untuk menunda atau mencegah penghancuran total pankreas. Juga, konstruksi senyawa poliherbal melalui kombinasi fitokimia ini dapat menghasilkan agen regeneratif yang lebih kuat untuk sel beta. Uji klinis yang akan datang tentang topik ini sangat diperlukan."






30 November 2021

Catatan ke-9: Glucose Tolerance Test (GTT) dan olah raga HIIT

Catatan ke-9: Glucose Tolerance Test (GTT) dan olah raga HIIT


30 November 2021 |

Saya memiliki beberapa gambar yang telah saya masukkan ke 2 bagian. Bagian 1 adalah gambar kurva GTT, sedangkan bagian kedua adalah eksperimen olah raga HIIT untuk menurunkan GD yang saya lakukan tadi siang. Begini ceritanya:

Hari Minggu, 28 November 2021, saya nekad melakukan GTT atau tes toleransi glukosa secara oral. Maksud saya melakukan tes ini adalah ingin mendapatkan data/gambaran tentang resistensi insulin yang saya alami. Sekaligus sebagai data awal dari hasil treatment yang saya lakukan. Tes ini tidak saya sarankan bagi orang yang memiliki GD sangat tinggi karena RESIKO LONJAKAN GD sangat MUNGKIN terjadi. Takutnya malah terjadi sesuatu yang negatif pada saat tes. Jujur, saya waktu melakukan tes itu cukup deg-degan, meskipun GDP saya konsisten < 100 (normal) selama beberapa hari terakhir.

Prinsip KEHATI-HATIAN:

Salah satu faktor yang memicu penyakit Diabetes Militus (DM) adalah banyaknya radikal bebas ataupun Reactive Oxigen Species (ROS), yaitu senyawa oksigen yang tidak stabil dan sangat reaktif. ROS cenderung menarik elektron dari molekul-molekul penting disekitarnya seperti protein, lipid, dan DNA guna mengstabilkan dirinya. Hal ini dapat membahayakan  jaringan dan menyebabkan kematian sel. Tubuh memiliki penangkal untuk menanggulangi  radikal  bebas tersebut, yaitu enzim ANTIOKSIDAN. (Sumber: https://journal.bio.unsoed.ac.id/index.php/scribio/article/view/42

Lonjakan GD yang sangat tinggi (hyperglikemia) dapat memicu stres oksidatif lebih lanjut, karena mampu menghasilkan radikal  bebas lebih banyak, dan menurunkan kerja antioksidan dalam  tubuh. Oleh karena itu, ketika terjadi hyperglikemia pada waktu GTT, segera turunkan, namun jangan berlebihan untuk mencegah terjadinya GD drop (Hypoglikemia). 

Kembali ke GTT, caranya sederhana:
1. Cek GD Puasa
2. Buat larutan gula dengan mencampur 75 gram gula pasir ke dalam 300 mL air (gelas es teh)
3. Minum sampai habis
4. Cek GD pada menit ke-30, 60, 90 dan 120 (waktu yang dibutuhkan 2 jam)
5. Selama tes (2 jam), tidak boleh melakukan olah raga dan kegiatan yang memicu stres
6. Bandingkan pergerakan kurva hasil cek GD dengan kurva acuan
7. Tarik kesimpulan

Dari GTT tersebut, saya termasuk golongan DIABETES. Jika mengacu pada kurva GTT, saya masih mengalami RESISTENSI INSULIN, meskipun GDP saya 80. Hasil tes saya dapat dilihat pada kurva/grafik sebelah kiri. Meskipun saya telah melakukan Intermitten Fasting 16 jam selama 2 bulan, diet Low Karbo dan olah raga HIIT setiap hari, saya belum boleh senang dengan kemajuan yang saya dapat. Saya pernah mengatakan bahwa MENURUNKAN GD itu tidak sulit. Namun membalikkan RESISTENSI INSULIN ke SENSITIVITAS INSULIN memang butuh waktu dan kesabaran. Lha wong dari normal ke RESISTENSI INSULIN saja perlu waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan kok! Mau balikin lagi secara alami ya memang lama... Oleh karena itu, saya masih komitmen dengan IF, Low Karbo & HIIT beberapa bulan ke depan. Sampai dengan HbA1C di posisi normal dan GTT normal.
Gambar bagian yang kedua adalahn eksperimen saya siang tadi. Hal inipun ga saya rencanakan sebelumnya. Hanya gara-gara "kasih sayang istri" yang membuatkan menu makan ikan mujahir bakar BUMBU KECAP. Bagi saya yang sedang berproses membalikkan RESISTENSI INSULIN, makan makanan yang mengandung kecap merupakan PANTANGAN! Namun lebih pantang lagi jika menolak makanan yang telah dibuat dengan kasih sayang dan rasa cinta seorang istri... (gomballl...!!!)

Kronologisnya begini:
1. Cek GD Puasa setelah IF 16 jam, hasilnya 89
2. Makan menu low karbo, kecuali bagian ikan mujahir yang dibakar dengan bumbu kecap. Menu siang ini adalah sayur wortel, sawi, tahu, dan brokoli.
3. Cek GDS 1 jam setelah makan, hasilnya 160. Mengapa kok 1 jam setelah makan? Saya melihat dari kurva GTT acuan (yang saya singgung sebelumnya) bahwa tingkat GDS setelah makan mencapai puncaknya di kisaran 1 jam. Dan Alhamdulillah hasilnya < 200
4. Sekitar 1 jam 30 menit setelah makan, saya melakukan olah raga HIIT selama 7,5 menit. Jenis olah raga yang saya lakukan adalah: sit up dan push up. Masing-masing dengan interval 30 detik yang diselingi istirahat selama 15 detik.



Gambarannya seperti ini:
Push up (30 detik) -- istirahat (15 detik) -- Sit up (30 detik) -- istirahat (15 detik) -- dan seterusnya sd 7,5 menit. Untuk memudahkan ada aplikasi androidnya. Nah, sebelum melakukan HIIT tersebut saya sempat makan apel 1 butir (sekitar 170an gam) sebagai cemilan.
5. Cek GD setelah HIIT, pas 2 jam setelah makan. Hasilnya GD2JPP = 120. Alhamdulillah....
(Karena ada beberapa yang bertanya tentang HIIT itu apa? Sebaiknya cek video dari Om Ade Rai tentang perbedaan olah raga AEROB-UNAEROB-HIIT. Dibedakan, berarti ada perbedaan fungsi dan tujuan https://youtu.be/6VfcyhhC0z8) 

Kesimpulan sementara saya terkait HIIT:

"Dengan durasi singkat, olah raga HIIT dapat menurunkan kadar GD secara signifikan"

Mengapa saya selalu mengkampanyekan HIIT untuk treatment DM? Karena (terutama bagi yang merasa masih muda dan kuat) olah raga HIIT dilakukan dengan durasi singkat sehingga TIDAK ADA ALASAN untuk tidak melakukannya. Meskipun demikian, bagi yang suka olah raga dan memang punya waktu untuk melakukannya, olah raga kardio selama 30 menit juga sangat baik untuk orang DM.

Sementara itu cerita saya tentang DM hari ini. Semoga bermanfaat.

28 November 2021

Catatan ke-7: Tes Toleransi Glukosa dan turunnya GD < 100

Catatan ke-7: Tes Toleransi Glukosa dan turunnya GD < 100




28 November 2021 |

Nekat melakukan "Tes Toleransi Glukosa (Glucose Tolerance Test - GTT). Caranya: 75 gram gula dilarutkan dengan air 1 gelas (300 mL), lalu diminum. Setelah itu diam, ga boleh olah raga atau stres. GD diukur mulai dr GD Puasa (sebelum minum larutan gula), 30, 60, 90 & 120 menit setelah minum larutan gula. Meskipun GD Puasa saya setelah Intermittent Fasting (IF) 15 jam = 80, namun GD puncak (1 jam setelah minum) > 200. Ketika 2 jam setelah minum, masih > 200 (dikit). Itu bukti bahwa RESISTENSI INSULIN saya masih TINGGI (masuk kategori diabetes, belum Pra-Diabetes).

Lantas apa yg saya lakukan utk menurunkan GD yg tinggi itu? Saya sudah antisipasi...! Saya olah raga HIIT 10 menit. 1,5 jam kemudian sy cek lagi. Alhamdulillah, sudah turun menjadi 78. Berarti glukosa dari larutan gula tadi sdh terserap ke otot, itu dugaan saya. Habis itu baru makan.
GDP rendah belum tentu RESISTENSI INSULIN membaik. Dan memang dari awal, sy fokus utk memperbaiki RESISTENSI INSULIN ke arah SENSITIVITAS INSULIN. Klo hanya menurunkan GD, itu ga sulit. IF, diet low karbo dan olah raga.
Hasil GTT hari ini merupakan yang pertama. Bisa dijadikan pembanding utk progress menurunkan RESISTENSI INSULIN. Masalah menurunkan GD saya anggap sdh mendapatkan solusi. Sekarang fokus di regenerasi SEL BETA Pankreas. Jawabannya (mungkin) dengan proses AUTOPHAGY klo mau yang alami dan dari dalam tubuh.
Masih harus baca banyak literatur dan paparan para ahli terkait SEL BETA PANKREAS. 😁
Semoga bermanfaat... 🙏🙏🙏

24 November 2021

Catatan ke-4: Banyak tahu untuk menjaga konsistensi dalam ber-PROSES sembuh dari diabetes

Catatan ke-4: Banyak tahu untuk menjaga konsistensi dalam ber-PROSES sembuh dari diabetes


24 November 2021 |

Pagi ini saya sangat bersemangat. Sebabnya, sudah nemu alur analisis yang dibutuhkan untuk menulis artikel, bagian dari disertasi yang saya buat. Karena masih di ketinggian 1500an mdpl, tentunya sangat dingin untuk mandi. Namun karena hati senang (saya yakin hormon KORTISOL saya ga naik), saya mandi air dingin. Bayangin aja, tadi pagi suhu ruangan berada di angka 15 derajat, suhu airnya tentunya di bawah itu. Tapi ya ga apa-apa, mandi sambil “megap-megap” dan kamar mandi penuh dengan “asap” (padahal ga ada api lho).  

Sedikit cerita soal penelitian yang saya lakukan, teori yang saya gunakan adalah “Theory of Planned Behavior (TPB)”, sebuah teori psikologi yang dijadikan dasar penelitian di berbagai bidang, termasuk bidang sosial ekonomi pertanian (bidang saya). Melalui teori tersebut, saya dapat mempelajari perilaku petani dalam melakukan kegiatan usahatani-nya. Dalam teori tersebut, PERILAKU dibentuk dari NIAT. Salah satu faktor pembentuk niat adalah SIKAP (ATTITUDE). Dalam beberapa literatur ilmiah, sikap dipengaruhi oleh PENGETAHUAN (dalam hal ini saya asumsikan sebagai wawasan seseorang). Jadi secara umum, orang akan BERUBAH PERILAKUNYA ketika MEMILIKI NIAT untuk merubah perilaku. Niat DIBENTUK OLEH SIKAP yang DIPENGARUHI OLEH PENGETAHUANNYA terhadap fenomena/kejadian tersebut. 

Terkait TPB dengan Diabetes Type 2 yang saya alami, ternyata benar juga logikanya. Dahulu sebelum GD Puasa saya ketahuan 307 (very high) dan HbA1C = 8,2%, saya ga peduli dengan pengetahuan tentang diabetes. Sekarang, saya peduli dengan pengetahuan tersebut sehingga bisa memunculkan sikap dan niat dalam mencari “kesembuhan” dari diabetes yang saya idap.

Saya harus berterima kasih kepada Dr. Jason Fung yang pertama kali (bagi saya) memberikan penjelasan lengkap tentang REVERSE INSULINE RESISTANCE (membalikkan resistensi insulin). Salah satu penjelasan dari Dr. Jason Fung yang berjudul “What is Insuline Resistance” dapat dilihat pada YT: https://www.youtube.com/watch?v=vMymMf3-LSc. Dari situ, keyword pencarian saya adalah “insuline resistance” karena itu benar-benar merupakan awal masalah dari tingginya kadar gula darah. Setelah saya mengikuti FB Grup “STOP DIABESITAS - Gizi & Nutrisi yang benar”, saya mempelajari artikel yang ditulis oleh Coach Dominik Vanyi. Dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, saya semakin paham tentang seluk beluk diabetes. Thanks coach... Secara bersamaan, saya juga mengikuti berbagai video tentang INSULINE RESISTANCE yang merupakan akar masalah diabetes Type 2, seperti:

- Om Ade Rai, binaragawan asal Bali yang meskipun sudah berusia 50an tahun namun masih terlihat seperti 30an tahun: https://www.youtube.com/watch?v=DI71-Z1nD2w&t=129s

- Dr. Eric Berg, salah satu pakar ketogenik internasional yang terlihat awet muda: https://www.youtube.com/watch?v=cUXSPIi5mE0 

- Dr. Sten Ekberg, mantan atlet olympiade dan doktor holistik, dengan ciri khas kepala plontos dengan penyampaian materi yang sistematis, disertai grafik dan gambar sehingga mudah menyerap informasinya: https://www.youtube.com/watch?v=DU84RvE568k 

- dan banyak (saya anggap) pakar kesehatan dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pengalamannya masing-masing.

Jika dihitung, mungkin saya telah menonton ratusan jam selama 1,5 bulan dalam mempelajari tentang diabetes ini. Namun yang jelas, banyak manfaat yang bisa saya ambil dari ratusan jam tersebut dan pastinya mampu mengubah persepsi dan perilaku saya tentang diabetes. Untuk teman-teman semua yang ingin bebas dari ancaman diabetes, silahkan terus belajar agar semakin yakin bahwa diabetes Type 2 itu dapat diatasi.

Sebenarnya saya membuat tulisan ini terinspirasi dari postingan teman saya Coach Dominik Vanyi tentang pola pandang “Social Media” vs “Science”. Thanks coach....  Dengan latar belakang akademisi, saya berusaha untuk tidak menggunakan “kacamata kuda” dalam menilai suatu fenomena, meskipun terkadang menjadi objektif itu sangat sulit. Berbagai pendapat pakar saya pelajari. Pakar-pakar tersebut berangkat dari berbagai latar belakang sehingga sangat mungkin pendapatnya berbeda. Ya..., itu ga jadi masalah bagi saya. Toh keputusan untuk melakukan treatment berada pada diri saya sendiri kok. 

Secara logika, TAHU, MELAKUKAN, dan KONSISTEN...!!! Sebenarnya itulah kunci sukses mengatasi diabetes (dan urusan-urusan lainnya). Kondisi serta respon tubuh tiap orang itu unik. Oleh karena itu, sebuah perlakuan atau terapi memiliki dampak berbeda di masing-masing orang. Contohnya saya: usia 36 tahun dan (merasa) bertubuh sehat sehingga ikhtiyar yang saya lakukan adalah: Intermitten Fasting (IF) 16 jam, diet karbo dan gula, dan olah raga HIIT. Mungkin cara yang saya lakukan tidak sesuai dengan kondisi tubuh orang lain. Butuh adaptasi dalam mengamati respon tubuh sebagai dampak dari suatu perlakuan/treatment. Dan saya memulainya dengan tahapan-tahapan seperti: IF 12 jam, 14 jam dan 16 jam. Pernah juga Long Fasting 47 jam untuk mencapai kondisi AUTOPHAGY (next time aja tulisannya). Yang penting tetap semangat dan konsisten dalam ber-PROSES, itu KUNCINYA. Termasuk saat ini saya memanfaatkan “suhu dingin” untuk membakar kalori tubuh. Kebiasaan masyarakat di sini adalah pakai jaket dan celana untuk menghalau suhu dingin. Namun saya malah sengaja pakai kaos dan celana pendek agar pembakaran kalori saya maksimal. Tujuannya apa? Memperlama proses ketosis agar lemak tubuh terbakar, karena saya masih IF 16 jam dan diet karbo & gula. Yang penting paham prinsip-prinsip dasarnya.

Oh ya, kemarin ada beberapa teman di grup yang menanyakan olah raga HIIT (High Intensity Interval Training). Penjelasan mudah tentang olah raga HIIT dari Om Ade Rai dapat dilihat pada: https://youtu.be/6VfcyhhC0z8. Di situ dapat diketahui perbedaan olah raga AEROBIK, UN-AEROBIK dan HIIT. Ini merupakan beberapa contoh yang telah saya lakukan:

- HIIT sebelum tidur (rutin setiap malam untuk merangsang hormon HGH): https://www.youtube.com/watch?v=iUvG1RhPkvo&t=361s 

- Olah raga kalau pagi (untuk pemanasan saja): https://youtu.be/ShFnsQM3DvY

- Klo ini saya belum bisa melakukannya. Namun pingin bisa: https://youtu.be/6X1c79oyYV4

- Ini juga full tantangan...!!! Baru setengah udah ngos-ngosan. Asli...!!! https://youtu.be/pcYYUU5tIxU  

- Olah raga 30 menit (ringan) di rumah: https://youtu.be/cvEJ5WFk2KE 

- dan masih banyak lagi agar ga bosen dalam berolahraga....

Sementara ini dulu cerita saya tentang diabetes hari ini. Terima kasih dan semoga menginspirasi.

Catatan ke-3: Mandi pagi yang bikin megap-megap di ketinggian 1500an mdpl dan konsistensi dalam ber-PROSES untuk sembuh dari diabetes

Catatan ke-3: Mandi pagi yang bikin megap-megap di ketinggian 1500an mdpl dan konsistensi dalam ber-PROSES untuk sembuh dari diabetes


24 November 2021 |

Pagi ini saya sangat bersemangat. Sebabnya, sudah nemu alur analisis yang dibutuhkan untuk menulis artikel, bagian dari disertasi yang saya buat. Karena masih di ketinggian 1500an mdpl, tentunya sangat dingin untuk mandi. Namun karena hati senang (saya yakin hormon KORTISOL saya ga naik), saya mandi air dingin. Bayangin aja, tadi pagi suhu ruangan berada di angka 15 derajat, suhu airnya tentunya di bawah itu. Tapi ya ga apa-apa, mandi sambil “megap-megap” dan kamar mandi penuh dengan “asap” (padahal ga ada api lho).

Sedikit cerita soal penelitian yang saya lakukan, teori yang saya gunakan adalah “Theory of Planned Behavior (TPB)”, sebuah teori psikologi yang dijadikan dasar penelitian di berbagai bidang, termasuk bidang sosial ekonomi pertanian (bidang saya). Melalui teori tersebut, saya dapat mempelajari perilaku petani dalam melakukan kegiatan usahatani-nya. Dalam teori tersebut, PERILAKU dibentuk dari NIAT. Salah satu faktor pembentuk niat adalah SIKAP (ATTITUDE). Dalam beberapa literatur ilmiah, sikap dipengaruhi oleh PENGETAHUAN (dalam hal ini saya asumsikan sebagai wawasan seseorang). Jadi secara umum, orang akan BERUBAH PERILAKUNYA ketika MEMILIKI NIAT untuk merubah perilaku. Niat DIBENTUK OLEH SIKAP yang DIPENGARUHI OLEH PENGETAHUANNYA terhadap fenomena/kejadian tersebut.

Terkait TPB dengan Diabetes Type 2 yang saya alami, ternyata benar juga logikanya. Dahulu sebelum GD Puasa saya ketahuan 307 (very high) dan HbA1C = 8,2%, saya ga peduli dengan pengetahuan tentang diabetes. Sekarang, saya peduli dengan pengetahuan tersebut sehingga bisa memunculkan sikap dan niat dalam mencari “kesembuhan” dari diabetes yang saya idap.

Saya harus berterima kasih kepada Dr. Jason Fung yang pertama kali (bagi saya) memberikan penjelasan lengkap tentang REVERSE INSULINE RESISTANCE (membalikkan resistensi insulin). Salah satu penjelasan dari Dr. Jason Fung yang berjudul “What is Insuline Resistance” dapat dilihat pada YT: https://www.youtube.com/watch?v=vMymMf3-LSc. Dari situ, keyword pencarian saya adalah “insuline resistance” karena itu benar-benar merupakan awal masalah dari tingginya kadar gula darah. Setelah saya mengikuti FB Grup “STOP DIABESITAS”, saya mempelajari artikel yang ditulis oleh Coach Dominik Vanyi. Dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, saya semakin paham tentang seluk beluk diabetes. Thanks coach... Secara bersamaan, saya juga mengikuti berbagai video tentang INSULINE RESISTANCE yang merupakan akar masalah diabetes Type 2, seperti:

  • Dr. Sten Ekberg, mantan atlet olympiade dan doktor holistik, dengan ciri khas kepala plontos dengan penyampaian materi yang sistematis, disertai grafik dan gambar sehingga mudah menyerap informasinya: https://www.youtube.com/watch?v=DU84RvE568k
  • dan banyak (saya anggap) pakar kesehatan dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pengalamannya masing-masing.

Jika dihitung, mungkin saya telah menonton ratusan jam selama 1,5 bulan dalam mempelajari tentang diabetes ini. Namun yang jelas, banyak manfaat yang bisa saya ambil dari ratusan jam tersebut dan pastinya mampu mengubah persepsi dan perilaku saya tentang diabetes. Untuk teman-teman semua yang ingin bebas dari ancaman diabetes, silahkan terus belajar agar semakin yakin bahwa diabetes Type 2 itu dapat diatasi.

Sebenarnya saya membuat tulisan ini terinspirasi dari postingan teman saya Coach Dominik Vanyi tentang pola pandang “Social Media” vs “Science”. Thanks coach.... Dengan latar belakang akademisi, saya berusaha untuk tidak menggunakan “kacamata kuda” dalam menilai suatu fenomena, meskipun terkadang menjadi objektif itu sangat sulit. Berbagai pendapat pakar saya pelajari. Pakar-pakar tersebut berangkat dari berbagai latar belakang sehingga sangat mungkin pendapatnya berbeda. Ya..., itu ga jadi masalah bagi saya. Toh keputusan untuk melakukan treatment berada pada diri saya sendiri kok.

Secara logika, TAHU, MELAKUKAN, dan KONSISTEN...!!! Sebenarnya itulah kunci sukses mengatasi diabetes (dan urusan-urusan lainnya). Kondisi serta respon tubuh tiap orang itu unik. Oleh karena itu, sebuah perlakuan atau terapi memiliki dampak berbeda di masing-masing orang. Contohnya saya: usia 36 tahun dan (merasa) bertubuh sehat sehingga ikhtiyar yang saya lakukan adalah: Intermitten Fasting (IF) 16 jam, diet karbo dan gula, dan olah raga HIIT. Mungkin cara yang saya lakukan tidak sesuai dengan kondisi tubuh orang lain. Butuh adaptasi dalam mengamati respon tubuh sebagai dampak dari suatu perlakuan/treatment. Dan saya memulainya dengan tahapan-tahapan seperti: IF 12 jam, 14 jam dan 16 jam. Pernah juga Long Fasting 47 jam untuk mencapai kondisi AUTOPHAGY (next time aja tulisannya). Yang penting tetap semangat dan konsisten dalam ber-PROSES, itu KUNCINYA. Termasuk saat ini saya memanfaatkan “suhu dingin” untuk membakar kalori tubuh. Kebiasaan masyarakat di sini adalah pakai jaket dan celana untuk menghalau suhu dingin. Namun saya malah sengaja pakai kaos dan celana pendek agar pembakaran kalori saya maksimal. Tujuannya apa? Memperlama proses ketosis agar lemak tubuh terbakar, karena saya masih IF 16 jam dan diet karbo & gula. Yang penting paham prinsip-prinsip dasarnya.

Oh ya, kemarin ada beberapa teman di grup yang menanyakan olah raga HIIT (High Intensity Interval Training). Penjelasan mudah tentang olah raga HIIT dari Om Ade Rai dapat dilihat pada: https://youtu.be/6VfcyhhC0z8 . Di situ dapat diketahui perbedaan olah raga AEROBIK, UN-AEROBIK dan HIIT. Ini merupakan beberapa contoh yang telah saya lakukan:


Sementara ini dulu cerita saya tentang diabetes hari ini. Terima kasih dan semoga menginspirasi.

21 November 2021

Catatan ke-2: Gapoktan di ketinggian 1500 mdpl dan GD 2 digit

Catatan ke-2: Gapoktan di ketinggian 1500 mdpl dan GD 2 digit


21 November 2021 |

Hari ini, setelah 3 malam begadang baca jurnal terkait disertasi, saya pergi ke lokasi calon greenhouse milik Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Di lokasi tersebut ada beberapa orang anggota Gapoktan yang sedang bekerja mempersiapkan pondasi greenhouse. "Mumpung cuaca cerah dan hangat, mengingat beberapa hari terakhir selalu hujan", pikir saya.  

Lokasi penelitian saya berada di ketinggian 1500an mdpl dengan suhu terendah saat ini sekitar 14 derajat Celcius. Itu saja sudah menjadi tantangan tersendiri karena udara yang dingin, beda jauh klo di rumah dengan suhu paling rendah sekitar 22-24 derajat Celcius. Ditambah lagi dengan recovery SENSITIVITAS INSULIN melalui IF. Sering merasa lapar...??? Iya lah! Namun tubuh sudah adaptasi sehingga saat ini ga terlalu masalah. Kebiasaan masyarakat di sini adalah makan 4x sehari. Itupun pakai nasi atau mie. Bagi saya yang melihat hal itu, ya maklum saja. Tubuh mereka membutuhkan sumber glukosa untuk mengstabilkan suhu tubuh dan energi untuk ke ladang. Jarang sekali ada orang di sini memiliki kasus DM apalagi obesitas. Menurut saya, itu karena INPUT glukosa dan OUTPUT energi seimbang. Banyak lansia yang masih semangat bawa cangkul atau arit ke ladang. Mayoritas sehat...!!!

Sudah semenjak tahun 2018 saya ke tempat ini dan melakukan penelitian akademik, meskipun ga sampai nginep berminggu-minggu seperti saat ini. Kesan terbaik yang saya tangkap adalah keramahan dan ketulusan, yang mana susah ditemui di kota tempat tinggal saya. Namun demikian, tinggal di tempat ini memberikan satu keuntungan bagi saya terkait proses recovery SENSITIVITAS INSULIN yang saya lakukan. Pembakaran kalori lebih cepat. Sama aja dengan olah raga ringan, hehehe....

Alhamdulillah, hari ini saya nemu apotik desa yang menyediakan tes GD. Mengapa? Jujur, saya cukup khawatir dengan luka di sela-sela jari kaki saya kemarin. Sudah beberapa minggu terakhir saya tidak cek GD saya, karena strip habis. Lagian alatnya juga saya tinggal di rumah. Hal itu karena saya yakin, metode penurunan RESISTEN INSULIN yang saya lakukan (IF, ZK dan olah raga HIIT) akan mendorong keberhasilan hal itu. Bahkan saya pernah dengar bahwa keyakinan terhadap suatu obat akan membuat kinerja obat tersebut sangat baik.

Namun..., karena saya sering begadang untuk mempelajari literatur, metode yang saya lakukan itu kurang sempurna. Seperti postingan saya sebelumnya tentang bersih-bersih tandon air, masih ada kekurangannya, yaitu belum menyentuh peranan HORMON dalam menurunkan RESISTENSI INSULIN. 

Sesuai dengan wawasan yang saya miliki, ada hormon KORTISOL dan Human Growth Hormone (HGH) yang berpengaruh besar dalam proses penurunan RESISTENSI INSULIN. Kedua hormon tersebut berhubungan terbalik. Kalau KORTISOL naik, maka HGH turun, demikian sebaliknya. Stress/depresi merupakan pemicu hormon KORTISOL yang menyebabkan peningkatan produksi insulin. Meskipun asupan karbohidrat/gula sedikit, namun ketika KORTISOL terpicu maka sangat besar kemungkinan terjadi GLUKONEOGENESIS, yaitu produksi glukosa dari liver, tempat penyimpanan glikogen. Hal ini tentunya akan meningkatkan kadar GD. Oleh karena itu, orang DM ga boleh kebanyakan stress. Jangan seperti saya.... Begadang, baca jurnal yang membingungkan di depan laptop selama berjam-jam. Stresss? Jelaaassss...!!!

Lain halnya dengan HGH yang mampu menjadi pemicu regenerasi sel. Klo HGH muncul maka proses recovery sel-sel tubuh yang rusak akan lebih cepat dan efektif. Masalahnya, HGH muncul secara efektif ketika kita dalam kondisi tidur 7-8 jam. Naaah...., sampai sini tahu kan mengapa saya cemas dengan luka di kaki kemarin... Saya tidurnya jam 1-2 pagi. Subuh bangun trus narik selimut lagi... Ga mendukung sama sekali dengan HGH. Makanya saya imbangi dengan olah raga HIIT agar HGH tersebut terpancing untuk keluar, semoga....

Singkat cerita, ketika saya ke apotik dan cek GD, hasilnya "dua digit". Cek itu setelah saya IF 15 jam (makan terakhir jam 9 malam, buka puasa dengan telur asin 2 buah jam 12 siang) lalu cek sekitar jam 1 siang. Cukuplah hasil itu membuat saya tenang sehingga harapannya dapat mencegah/menurunkan hormon KORTISOL.

Sementara itu saja sharing saya hari ini. 

"USAHA TIDAK MENGKHIANATI HASIL", itu pepatah yang bagus untuk diingat agar selalu KONSISTEN dengan proses yang dijalani.