Artikel Utama

Catatan ke-32: Transformasi

25 Januari 2022

Catatan ke-34: Faktor keturunan yang 10% itu ternyata menjadi salah satu penentu DM

Catatan ke-34: Faktor keturunan yang 10% itu ternyata menjadi salah satu penentu DM


25 Januari 2022 | 

Tulisan ini merupakan lanjutan dari diskusi saya dengan dokter spesialis jantung teman SMA saya yang pernah saya tuliskan sebelumnya dengan judul: "Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA".
 
Saya akui, pemahaman saya agak keliru terkait dengan faktor KETURUNAN pada penderita DMT2...!!! Saya pernah baca jurnal  bahwa resiko DM yang disebabkan oleh faktor keturunan hanya 10%. Artinya apa? 90% DMT2 disebabkan oleh faktor selain keturunan (yaitu: pola hidup). Karena sepertinya belum pernah ada kasus orang normal berubah menjadi DMT2 dalam semalam karena diracun atau disantet... 🙏😁

Menurut teman saya tersebut, faktor keturunan tidak terlepas dari RESIKO DMT2. Ini bukan berarti orang DMT2 anaknya sudah pasti DMT2 juga lho ya... Hati-hati dengan interpretasi ini. Yang ingin saya tekankan adalah RESIKO-nya. Artinya apa? Seseorang yang orang tuanya memiliki riwayat DMT2 harus berhati-hati dengan KEMUNGKINAN dia terkena DMT2.

Teman saya tersebut mencontohkan begini:

Ada dua orang sama-sama obesitas, katakanlah si A dan si B. Orang tua si A punya riwayat DMT2 sedangkan orang tua si B tidak punya riwayat DMT2. Meskipun keduanya punya RESIKO terkena DMT2 yang disebabkan oleh obesitas tersebut, namun si A memiliki peluang terkena DMT2 2x lipat dari pada si B. Hal inilah yang (mungkin) menyebabkan orang sama-sama gemuk namun tidak mesti semuanya terkena DMT2.

Kesalahan pemahaman saya terletak di mana? Saya kira faktor keturunan tersebut merupakan RESIKO yang terpisah (parsial) dan bobotnya hanya 10%. Namun ternyata, dari penjelasan teman saya itu, faktor keturunan merupakan RESIKO pengali. Jadi dia bilang: “Jika kamu mengalami obesitas, dan orang tua kamu pernah ada yang terkena DMT2, maka resiko terkena DMT2 menjadi 2x lipat dari orang yang bapak/ibunya normal”. Kenyataannya, (alm.) ayah saya kena DMT2 di usia 40 tahun, stroke di usia 52 tahun dan serangan/gagal jantung di usia 53 tahun. Mungkin karena beliau hanya minum obat dari dokter namun tidak mau merubah pola hidup (cerita ibu saya).

Di sinilah letak edukasi sangat penting! Bagi siapa saja yang terkena DMT2, sebaiknya mulai menerapkan pola hidup sehat agar: 1) Terhindar dari komplikasi akibat GD tinggi terus-terusan, dan 2) Memberikan contoh pola hidup sehat kepada anak-anaknya agar mereka terhindar dari resiko yang lebih besar terkena DMT2.

Faktor keturunan + Pola hidup sehat = (masih ada) RESIKO DMT2 sebanyak 10%
Faktor keturunan + Pola hidup buruk = Fixed kena DMT2
Saya sudah mengalaminya....!!!
Faktor keturunan + Pola hidup buruk => Obesitas => Fix DMT2.

Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika interpretasi saya masih banyak kelirunya.... 🙏🙏🙏

23 Januari 2022

Catatan ke-33: Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA

Catatan ke-33: Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA


23 Januari 2022 | 

Tadi sore sekitar habis Asar, saya berkesempatan untuk diskusi via telp. tentang DM dengan teman SMA saya. Dia teman satu kos dan sekarang menjadi dokter spesialis jantung. Dia agak terkejut juga ketika tahu bahwa saya terkena DM. Namun itu bukan point utamanya. Yang menjadi fokus pembicaraan adalah pencegahan komplikasi dari DM itu sendiri.

Mungkin sebagian besar anggota grup ini telah mengetahui bahaya dari DM, yaitu berbagai macam kemungkinan resiko komplikasi. Kalau GD tinggi itu mungkin ga terlalu terasa efeknya secara langsung, namun ketika GD tinggi terus-terusan, hal itu akan menyebabkan resiko komplikasi ke berbagai organ vital tubuh. Bisa jadi otak, jantung, ginjal, mata, dan sebagainya. Karena semua organ di tubuh terkoneksi dengan pembuluh darah sehingga kualitas darah yang jelek (GD tinggi) akan memberikan dampak negatif pada organ-organ tersebut.

Fokus dari diskusi saya dengan dia adalah tentang plak di pembuluh darah. Dan SALAH SATU pemicu terjadinya plak tersebut adalah GD tinggi (DM). Jadi meskipun HbA1C dan resistensi insulin sudah turun, bukan berarti aman. Mengapa? Karena selama GD tinggi (yang kita belum tahu kapan mulainya), sebenarnya telah terjadi endapan plak pada pembuluh darah. Plak itu akan luntur dalam jangka waktu cukup lama, sekitar 1-5 tahun (kata dia). Oleh karena itu, orang yang telah terdiagnosa DM, sebaiknya tetap mengelola DM-nya dengan baik agar tidak terjadi penyumbatan pada pembuluh darah.
Teman saya itu mengakui bahwa hasil HbA1C saya baik (5% = 90-an mg/dL) dan resistensi insulin saya juga baik (1,4 < 2,0). BMI saya sudah bagus karena sudah masuk ke kondisi ideal dari yang semula obesitas tingkat 1. Namun demikian, dia sangat menyarankan saya untuk menjaga semua indikator tersebut. Berapa lama? Ya selama mungkin! Agar plak-plak yang telah terbentuk di pembuluh darah saya dapat berkurang. Apalagi saya cerita bahwa beberapa komplikasi DM telah saya rasakan sebelumnya (seperti: penglihatan kadang kabur, sering masuk angin, infeksi telinga setahun lebih, dll.). Saya bilang bahwa setelah treatment IF, LK dan Olah raga selama 3 bulan, semua gejala tersebuh hilang. Namun bukan berarti saya sudah sembuh. Bekas/dampak yang ditimbulkan oleh GD tinggi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, yaitu kondisi plak dalam pembuluh darah tidak dapat hilang dengan cepat. Dia juga menyinggung tentang profil lemak yang berpotensi menambah plak tersebut, serta pengelolaan stress yang baik (Ojo mikir nemen-nemen sing gawe stress...!!!). Dan yang paling menarik dari statement-nya setelah tahu saya melakukan IF 16 jam, LK dan olga serta hanya minum obat GD (metformin) 4 hari saja di awal diagnosa adalah: "Jika pasien DM bisa mengelola pola hidupnya dengan baik, sebenarnya obat merupakan opsi terakhir". 

Dari pembicaraan tersebut saya menarik kesimpulan:
  1. DM itu hanya salah satu penyebab dari gangguan kesehatan, karena jika dilihat secara komprehensif, kegagalan organ vital dapat disebabkan oleh hal selain DM
  2. Memang DM merupakan "mother of disease", namun demikian saya tidak boleh abai dengan penyebab lainnya, seperti profil kolesterol yang buruk, serta keseimbangan enzim dan hormon sebagai penyokong sistem metabolisme tubuh
  3. Pengelolaan stress merupakan satu hal penting yang harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan metabolisme.
  4. Diet terbaik (menurut) saya adalah diet dengan komposisi nutrisi yang cukup dan seimbang, serta harus dapat dilakukan dalam JANGKA PANJANG. 

Ternyata DM bukan sesuatu yang ngeri-ngeri amat asal bisa mengelolanya dengan baik. Memang butuh banyak informasi untuk tahu tentang cara-cara mengelola kesehatan secara komprehensif. Namun abai terhadap DM sangat berpotensi untuk memicu terjadinya stroke, gagal ginjal, serangan jantung, berkurangnya fungsi syaraf dan penyakit "berat" lainnya. 

Jika boleh saya mengatakan bahwa berfikir untuk "hanya" menurunkan GD adalah sesuatu yang "kecil". Masih ada hal "besar" lain yg berpengaruh pada kesehatan metabolisme tubuh. Itu semua tergantung dari mindset yang kita bangun. Karena MINDSET merupakan pondasi untuk BERPERILAKU lebih sehat. 

Semoga bermanfaat...
Catatan ke-32: Transformasi

Catatan ke-32: Transformasi


23 Januari 2022

Perubahan cukup ekstrim yang membuat saya senang namun "menghancurkan" hati orang-orang di sekitar saya (kecuali istri saya). 

Pada awal saya terdiagnosis DM pada 30 Sept 2021, pikiran saya yang pertama adalah agar bisa segera pulih, mencegah komplikasi. Hasil belajar saya di awal kena DM adalah mengurangi BB. Ya! Karena kelebihan lemak menimbulkan resistensi insulin dan berbagai macam inflamasi. Akhirnya sy membuat target turun BB ke BMI ideal. Waktu itu awal melakukan treatment pada minggu pertama Oktober 2021, seingat saya BB = 83-85 Kg. Sekarang, BB sudah ideal di 70 Kg. Alhamdulillah....

Namun demikian, ada yg ga terima dengan penurunan BB saya yg cukup ekstrim, sekitar 15 kg dlm waktu 3 bulan. Itulah persepsi orang... Karena sebelumnya sy terlihat montok (gendut), sekarang langsing (ideal). Namun apabila persepsi itu saya ikuti, maka tentu akan menggoyahkan tekat saya dalam memperbaiki kondisi kesehatan saya. 

Berdasarkan pengalaman saya, bagi yg baru kena DMT2, evaluasi berat badan (BB) dulu. Klo overweight, apalagi obesitas, lakukan penurunan BB menuju ke BB ideal. Mau pakai IF, diet keto, defisit kalori, silahkan... Asal pertimbangkan kondisi tubuh. Hasil penurunan BB tergantung dr diet yg dipilih dan konsistensinya.

Ketika sudah ideal, pertahankan BB tsb. Toh jika BB ideal, rasa sehat akan bertambah. Enteng, ga mudah capek, dan lebih bersemangat. 

Catatan saya, ada perbedaan BB turun karena diet vs BB turun karena DM. Kalau makan banyak tp BB turun, itu menandakan resistensi insulin tinggi. Namun jika BB turun karena diet, penurunan tsb memang dikarenakan asupan glukosa rendah sehingga proses pembakaran lemak tubuh (ketosis) berlangsung. Jika resistensi insulin turun, maka BB akan stabil.

Setelah BB ideal, resistensi insulin turun, mulai fokus pada perbaikan sistem pencernaan. Yang saya lakukan adalah konsumsi probiotik agar bakteri baik (mikrobiom) lebih banyak sehingga keseimbangan enzim dan hormon dapat lebih ideal. Paling tidak, itu yg saya pahami sd saat ini.

Proses ketika menurunkan BB itulah kunci dari treatment DM. Karena pada proses itu, terjadi pembiasaan "New Normal" terkait makanan dan minuman yg kita konsumsi. Contoh: awalnya sy melakukan diet low karbo utk mengejar "kesembuhan" DM saya. Namun seiring dg proses, saat ini malah ga tertarik utk makan nasi dkk. Bukannya benci nasi, namun kebiasaan baru itulah yg menyebabkan saya lebih memilih sayuran dr pada nasi, mie dll. Mindset berubah dari "makan enak" menjadi "kecukupan nutrisi". 

Melakukan treatment sambil belajar merupakan langkah ideal. Saya jadinya tahu alasan2 dibalik treatment yang saya lakukan tersebut. Hal itu akan menambah dan mempertahankan motivasi dalam mengubah pola hidup. Tentunya dalam jangka panjang.

Semua proses butuh perjuangan dan "laku prihatin", khususnya bagi yg DM. 

Semoga manfaat 🙏🙏🙏

16 Januari 2022

Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya

Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya


16 Januari 2022 | 

Sebelumnya saya berterima kasih pada Dr. Jason Fung yang telah menyebarkan video seminar/kuliahnya tentang mengelola diabetes. Video itu berjudul: "Two Big Lies about Type 2 Diabetes" (link: https://youtu.be/FcLoaVNQ3rc). Saya telusuri video-video dari Dr. Fung tersebut dan memang terjadi pro dan kontra. Yang mempermasalahkan bukan orang awam biasa seperti saya, namun para ahli/pakar kesehatan. Namun apapun itu, melalui video tersebut, saya dapat mengubah mindset dan mendapatkan hasil positif secara signifikan setelah melakukan treatment yang disarankan oleh Dr. Fung. Thanks Dr. Fung....

Sebelum saya divonis DM "tanpa sengaja" dengan hasil lab GD Puasa 307 pada 30 September 2021, sebenarnya beberapa komplikasi telah saya alami. Namun saya ga sadar jika itu merupakan komplikasi akibat GD tinggi. Mau tahu komplikasi apa saja? Ini listnya:
  1. Infeksi telinga kanan selama 1 tahunan, mulai awal 2020
  2. Caries (pengeroposan) gigi geraham kiri atas selama 3 bulan
  3. Sering pipis dan selalu haus 
  4. Sering masuk angin (2-3 kali seminggu selalu blonyohan/kerokan minyak GPU)
  5. Tidak fokus dalam berfikir
  6. Makan banyak tapi BB turun

Semalam, saya tonton video itu lagi dan mencoba mencari salah satu jurnal yang digunakan Dr. Fung dalam seminar/kuliah-nya tersebut. Akhirnya ketemu dan saya sangat tertarik untuk membacanya. 
Jurnal yang ditulis oleh Roy Taylor dengan judul "Type 2 diabetes: Etiology and reversibility" yang diterbitkan di Jurnal Diabetes Care volume 36(4) tahun 2013 halaman 1047–1055 (link: https://doi.org/10.2337/dc12-1805), cukup membuat saya “tersenyum”. Ternyata (mungkin) beranjak dari jurnal tersebut, para “pakar” diet, bisa meng-klaim bahwa Diabetes Tipe 2 (DMT2) dapat diatasi tanpa obat medis. Saya paham itu, hahaha.....

Dalam jurnal tersebut, salah satu bagian terpenting yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini adalah di bagian “Implication for management of type 2 diabetes”. Saya kutip sedikit statement yang saya terjemahkan bebas:
“Peran aktivitas fisik harus diperhatikan. Peningkatan aktivitas fisik harian menyebabkan penurunan "fatty liver” (43), dan satu jenis olahraga secara substansial menurunkan lipogenesis de novo (39) dan VLDL (very low density lipoprotein) plasma (92). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontrol kalori yang dikombinasikan dengan olahraga jauh lebih berhasil daripada pembatasan kalori saja (93). Namun, program olahraga saja tidak menghasilkan penurunan berat badan bagi orang paruh baya yang kelebihan berat badan (94). Penurunan berat badan awal yang diperlukan membutuhkan pengurangan substansial dalam asupan energi. Setelah berat badan turun, kestabilan berat badan paling efektif  dapat dicapai dengan kombinasi diet dan aktivitas fisik. Latihan aerobik dan pembatasan kalori merupakan upaya yang efektif (95). Faktor terpenting adalah keberlanjutan.”
Saya memegang kuat kalimat terakhir dari kutipan di atas. KEBERLANJUTAN...!!! Jadi dalam mindset saya, apabila ingin menjaga agar DM tidak mengarah pada komplikasi, lakukan upaya yang BERKELANJUTAN. Oleh karena itu, tujuan utama saya selama 3 bulan melakukan Intermittent Fasting (IF), Diet low karbo dan olah raga beban/HIIT sebenarnya untuk membentuk perilaku baru (NEW NORMAL) dalam mengelola diabetes yang saya alami.

HbA1C saya boleh turun dari 8,2% menjadi 5,0%. Berat badan saya yang semula sekitar 85 Kg boleh turun menjadi 70 Kg dalam waktu 3 bulan ini sehingga saya masuk ke dalam BMI ideal (TB = 173 cm; BB = 70 Kg). Resistensi insulin (HOMA-IR) = 1,4 yang menunjukkan saya normal ( HOMA-IR < 2). Namun mau berapa lama mempertahankan kondisi itu jika perilaku tidak berubah? Jawaban logisnya adalah PERUBAHAN PERILAKU. Ingat, saya dulu orang normal, tidak punya masalah apa2 terkait sindrom metabolik. Namun karena perilaku makan banyak jarang gerak, akhirnya saya mengalami obesitas dan akhirnya berakhir di DMT2. Saya ga mau DMT2 berlanjut ke komplikasi.

Pemikiran saya:
Jika ingin tahu tentang kondisi tubuh terkait DMT2, maka lakukan screening awal. Ga usah menebak-nebak apakah saya kena DMT2 atau ga? Lha wong sudah masuk ke Pre-Diabetes saja sudah “zona kuning” kok. Tes-tes yang sudah pernah saya lakukan antara lain:
  1. GD Puasa
  2. Glucose Tolerance Test (GTT)
  3. Insulin puasa (untuk menentukan HOMA-IR & HOMA-B)
  4. Profil lemak

Dari hasil tes tersebut, saya positif DM dan lebih spesifik lagi, masalah saya di penurunan kapasitas sel beta pankreas. Dengan demikian, saya bisa fokus pada AKAR MASALAH DMT2 yang saya hadapi. 
Namun dari itu semua, saya menekankan pada KEBERLANJUTAN treatment yang saya lakukan agar kualitas hidup lebih baik, lebih sehat sehingga mimpi besar saya dapat saya capai. Klo sakit, produktivitas hidup akan berkurang. Yakin deh....

Semoga bermanfaat....

02 Januari 2022

Catatan ke-24: Kunci awal menangani diabetes type 2 (DMT2) adalah MINDSET

Catatan ke-24: Kunci awal menangani diabetes type 2 (DMT2) adalah MINDSET


2 Januari 2022

Kemakan oleh mindset sendiri, itulah yang terjadi pada diri saya. Terlebih, sekarang saya tengah berjuang dalam "laku prihatin" untuk mengembalikan sensitivitas insulin dan regenerasi sel Beta Pankreas. Ceritanya begini:

Saya ingat waktu itu tahun 2007, ketika saya kerja menjadi admin di Magister Manajemen Agribisnis (MMA) UGM sambil menjalani beasiswa S2. Kelebihan uang bagi seorang bujangan membuat saya kalap dan lari ke makanan. Apalagi ketika kuliah S1, semua serba terbatas. Tubuh yang awalnya ideal (TB 173; BB 65) beranjak tambun. Dosen saya pernah "mengingatkan" untuk ga berlebihan ketika makan krn resiko penyakit. Waktu itu saya jawab: "Ga apa-apa pak. Saya konsumsi herbal juga kok. Biar obat yang menangkal penyakit saya" (kira-kira begitu). 

Mulai dari saat itu, mindset saya adalah: "Kalau sakit ya minum obat. Soal makanan sehari-hari, sikat aja apa yang ada." Dan ga terasa, dalam perjalanan hidup saya, pernah mencapai rekor 95 Kg. Kereeen....!!! Makmur deh!

Namun ternyata MINDSET saya salah! Obat ga bisa mencegah seseorang terkena DMT2 jika pola makannya awur2an dan cenderung berlebihan. Apalagi jika memang sudah positif DMT2, hanya mengandalkan obat saja ga akan mengatasi akar masalahnya! Dan saat ini saya telah termakan oleh MINDSET saya tersebut.

Keyakinan saya itu terkonfirmasi ketika kemarin malam saya silaturahmi ke salah satu teman. Ketika dia melihat perubahan pada tubuh saya, dia tanya: "Kowe kenopo mas, kok kurus?" Ya saya jawab jika saya kena DMT2 dan sedang berusaha memulihkan kondisi. Cara yang saya lakukan adalah Intermittent Fasting, diet Low Karbo dan olah raga beban (HIIT), bla...bla...bla.... Yang menarik bukan di bagian itunya, namun ketika dia membuka cerita tentang kronologi ayahnya meninggal lantaran gagal ginjal yg diawali dengan DMT2 beberapa tahun sebelumnya. Ceritanya begini:

Pada saat awal ayahnya kena DMT2, sebenarnya ada 2 orang tetangganya yang juga kena. Ayahnya itu setiap bulan rajin ke dokter, kontrol dan pulang bawa obat. Selama beberapa tahun itu, ayahnya konsumsi obat DM. Namun..., ayahnya ga mau meninggalkan makanan enak-enak, alias ga mau mengubah pola hidup. Dosis obat yg semula sedikit, lama-kelamaan meningkat dan akhirnya menggunakan injeksi insulin. Mindset ayahnya adalah: "Sudah minum obat ya boleh makan seperti orang normal, sama ketika sebelum terkena DMT2." Pada akhirnya ginjalnya yang bermasalah.

Teman saya melanjutkan ceritanya tentang dua orang tetangganya yang sama-sama kena DMT2. Yang jelas saat ini mereka masih sehat. Kontrol ke dokter tetap dilakukan, namun mereka bisa mengubah pola makan. Ditambah dengan rajin puasa.

Intinya: 
Mengawali penanganan atau manajemen DMT2 tanpa MINDSET yang benar, hasilnya ga akan memuaskan. Bagi saya, MINDSET yang benar itu adalah membentuk NEW NORMAL, dengan mengelola makanan, olah raga, pikiran dan spiritual. Lupakan "NORMAL" seperti saat sebelum kena DMT2 karena meskipun RESISTENSI INSULIN sudah menurun dan SEL BETA PANKREAS telah bertambah, namun pola hidup yang salah tetap akan beresiko menyebabkan DMT2 lagi. Apalagi saat ini banyak orang yg berfikir hanya MENORMALKAN GD, bukan memperbaiki akar masalahnya.

Jangan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kali.

16 Desember 2021

Catatan ke-18: Mie ayam, teh manis dan GDP 2 digit

Catatan ke-18: Mie ayam, teh manis dan GDP 2 digit


16 Desember 2021 |

Kemarin, saya ngajak temen saya untuk fotokopi kuesioner penelitian dan belanja ATK untuk mendukung proses riset saya di gunung. Tempat fotokopinya lumayan jauh, karena harus turun ke kota terdekat (kota Bumiayu). Saya tahu kalau temen saya itu suka banget dengan mie ayam. Dalam perjalanan pulang, saya menawarkan ke dia untuk mampir ke warung mie ayam, sekedar untuk menghargai keinginan dia makan mie ayam. Saya tahu dia "pekewuh" dengan saya karena saya dulu adalah dosen pembimbing skripsinya. Saya bilang saja: "Klo mau mie, ya makan saja. Saya mau minum teh dan makan buah pir saja". Lalu saya duduk dekat dia dan sempat mengfoto dia ketika makan mie ayam dengan enaknya (mengingat makanan ini adalah favorit saya sebelum diet Low Karbo. Apalagi klo makannya di gunung.... Yummy.....).

Saya pesen teh panas dan dengan 1 sendok teh gula (wkwkwkwk..... Nakal...!!! "Penjorangan" klo kata orang Banyumas). Bayangan saya dikasih gelas besar, ternyata gelasnya kecil. Ya ga apa2 deh... Saya minum (muaniiiis bgt di lidah) sambil makan buah pir yang saya bawa. Lumayan buat buka puasa setelah IF 16 jam.

2 jam setelah minum teh manis tersebut, penasaran lihat GDS. Ternyata masih di kisaran normal yaitu 104 mg/dL. Okey deh, lanjut masak buat makan. Menu kali ini masih sama dengan hari2 sebelumnya, yaitu kukusan labu siam dan sayuran lainnya. Cuma yang istimewa adalah orak-arik tahu+telur yang saya buat, saya tambahi hati ampela ayam yang sempat saya beli di Bumiayu tadi (di gunung klo mau beli ayam harus 1 ekor, dan itu kebanyakan klo dimakan untuk 2 orang). 

Hari-hari saya masih seperti biasanya. Malam kerja sampai tengah malam dan tidur sekitar jam 1 pagi. Namun berdasar percobaan yang dilakukan pak Wisnu Ali Martono, untuk menjaga GDP 2 digit, sebelum tidur makan protein. Lha, saya punyanya kacang, jadinya jam 12 malam ngemil kacang. Berapa gram saya ga tahu, tapi gambarannya sekitar 1 genggaman tangan deh. Penasaran juga untuk ngerti GDP-nya berapa. 

Tidur jam 1 pagi, jam 5 bangun utk subuhan, trus tidur lagi karena ngantuk dan udara duuuingiiin banget (sekitar 15 derajad). Bangun lagi sekitar jam 8 pagi. Habis itu cek GDP dan hasilnya 2 digit.

Alhamdulillah.....

Itu cerita saya tentang DM hari ini.

24 November 2021

Catatan ke-4: Banyak tahu untuk menjaga konsistensi dalam ber-PROSES sembuh dari diabetes

Catatan ke-4: Banyak tahu untuk menjaga konsistensi dalam ber-PROSES sembuh dari diabetes


24 November 2021 |

Pagi ini saya sangat bersemangat. Sebabnya, sudah nemu alur analisis yang dibutuhkan untuk menulis artikel, bagian dari disertasi yang saya buat. Karena masih di ketinggian 1500an mdpl, tentunya sangat dingin untuk mandi. Namun karena hati senang (saya yakin hormon KORTISOL saya ga naik), saya mandi air dingin. Bayangin aja, tadi pagi suhu ruangan berada di angka 15 derajat, suhu airnya tentunya di bawah itu. Tapi ya ga apa-apa, mandi sambil “megap-megap” dan kamar mandi penuh dengan “asap” (padahal ga ada api lho).  

Sedikit cerita soal penelitian yang saya lakukan, teori yang saya gunakan adalah “Theory of Planned Behavior (TPB)”, sebuah teori psikologi yang dijadikan dasar penelitian di berbagai bidang, termasuk bidang sosial ekonomi pertanian (bidang saya). Melalui teori tersebut, saya dapat mempelajari perilaku petani dalam melakukan kegiatan usahatani-nya. Dalam teori tersebut, PERILAKU dibentuk dari NIAT. Salah satu faktor pembentuk niat adalah SIKAP (ATTITUDE). Dalam beberapa literatur ilmiah, sikap dipengaruhi oleh PENGETAHUAN (dalam hal ini saya asumsikan sebagai wawasan seseorang). Jadi secara umum, orang akan BERUBAH PERILAKUNYA ketika MEMILIKI NIAT untuk merubah perilaku. Niat DIBENTUK OLEH SIKAP yang DIPENGARUHI OLEH PENGETAHUANNYA terhadap fenomena/kejadian tersebut. 

Terkait TPB dengan Diabetes Type 2 yang saya alami, ternyata benar juga logikanya. Dahulu sebelum GD Puasa saya ketahuan 307 (very high) dan HbA1C = 8,2%, saya ga peduli dengan pengetahuan tentang diabetes. Sekarang, saya peduli dengan pengetahuan tersebut sehingga bisa memunculkan sikap dan niat dalam mencari “kesembuhan” dari diabetes yang saya idap.

Saya harus berterima kasih kepada Dr. Jason Fung yang pertama kali (bagi saya) memberikan penjelasan lengkap tentang REVERSE INSULINE RESISTANCE (membalikkan resistensi insulin). Salah satu penjelasan dari Dr. Jason Fung yang berjudul “What is Insuline Resistance” dapat dilihat pada YT: https://www.youtube.com/watch?v=vMymMf3-LSc. Dari situ, keyword pencarian saya adalah “insuline resistance” karena itu benar-benar merupakan awal masalah dari tingginya kadar gula darah. Setelah saya mengikuti FB Grup “STOP DIABESITAS - Gizi & Nutrisi yang benar”, saya mempelajari artikel yang ditulis oleh Coach Dominik Vanyi. Dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, saya semakin paham tentang seluk beluk diabetes. Thanks coach... Secara bersamaan, saya juga mengikuti berbagai video tentang INSULINE RESISTANCE yang merupakan akar masalah diabetes Type 2, seperti:

- Om Ade Rai, binaragawan asal Bali yang meskipun sudah berusia 50an tahun namun masih terlihat seperti 30an tahun: https://www.youtube.com/watch?v=DI71-Z1nD2w&t=129s

- Dr. Eric Berg, salah satu pakar ketogenik internasional yang terlihat awet muda: https://www.youtube.com/watch?v=cUXSPIi5mE0 

- Dr. Sten Ekberg, mantan atlet olympiade dan doktor holistik, dengan ciri khas kepala plontos dengan penyampaian materi yang sistematis, disertai grafik dan gambar sehingga mudah menyerap informasinya: https://www.youtube.com/watch?v=DU84RvE568k 

- dan banyak (saya anggap) pakar kesehatan dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pengalamannya masing-masing.

Jika dihitung, mungkin saya telah menonton ratusan jam selama 1,5 bulan dalam mempelajari tentang diabetes ini. Namun yang jelas, banyak manfaat yang bisa saya ambil dari ratusan jam tersebut dan pastinya mampu mengubah persepsi dan perilaku saya tentang diabetes. Untuk teman-teman semua yang ingin bebas dari ancaman diabetes, silahkan terus belajar agar semakin yakin bahwa diabetes Type 2 itu dapat diatasi.

Sebenarnya saya membuat tulisan ini terinspirasi dari postingan teman saya Coach Dominik Vanyi tentang pola pandang “Social Media” vs “Science”. Thanks coach....  Dengan latar belakang akademisi, saya berusaha untuk tidak menggunakan “kacamata kuda” dalam menilai suatu fenomena, meskipun terkadang menjadi objektif itu sangat sulit. Berbagai pendapat pakar saya pelajari. Pakar-pakar tersebut berangkat dari berbagai latar belakang sehingga sangat mungkin pendapatnya berbeda. Ya..., itu ga jadi masalah bagi saya. Toh keputusan untuk melakukan treatment berada pada diri saya sendiri kok. 

Secara logika, TAHU, MELAKUKAN, dan KONSISTEN...!!! Sebenarnya itulah kunci sukses mengatasi diabetes (dan urusan-urusan lainnya). Kondisi serta respon tubuh tiap orang itu unik. Oleh karena itu, sebuah perlakuan atau terapi memiliki dampak berbeda di masing-masing orang. Contohnya saya: usia 36 tahun dan (merasa) bertubuh sehat sehingga ikhtiyar yang saya lakukan adalah: Intermitten Fasting (IF) 16 jam, diet karbo dan gula, dan olah raga HIIT. Mungkin cara yang saya lakukan tidak sesuai dengan kondisi tubuh orang lain. Butuh adaptasi dalam mengamati respon tubuh sebagai dampak dari suatu perlakuan/treatment. Dan saya memulainya dengan tahapan-tahapan seperti: IF 12 jam, 14 jam dan 16 jam. Pernah juga Long Fasting 47 jam untuk mencapai kondisi AUTOPHAGY (next time aja tulisannya). Yang penting tetap semangat dan konsisten dalam ber-PROSES, itu KUNCINYA. Termasuk saat ini saya memanfaatkan “suhu dingin” untuk membakar kalori tubuh. Kebiasaan masyarakat di sini adalah pakai jaket dan celana untuk menghalau suhu dingin. Namun saya malah sengaja pakai kaos dan celana pendek agar pembakaran kalori saya maksimal. Tujuannya apa? Memperlama proses ketosis agar lemak tubuh terbakar, karena saya masih IF 16 jam dan diet karbo & gula. Yang penting paham prinsip-prinsip dasarnya.

Oh ya, kemarin ada beberapa teman di grup yang menanyakan olah raga HIIT (High Intensity Interval Training). Penjelasan mudah tentang olah raga HIIT dari Om Ade Rai dapat dilihat pada: https://youtu.be/6VfcyhhC0z8. Di situ dapat diketahui perbedaan olah raga AEROBIK, UN-AEROBIK dan HIIT. Ini merupakan beberapa contoh yang telah saya lakukan:

- HIIT sebelum tidur (rutin setiap malam untuk merangsang hormon HGH): https://www.youtube.com/watch?v=iUvG1RhPkvo&t=361s 

- Olah raga kalau pagi (untuk pemanasan saja): https://youtu.be/ShFnsQM3DvY

- Klo ini saya belum bisa melakukannya. Namun pingin bisa: https://youtu.be/6X1c79oyYV4

- Ini juga full tantangan...!!! Baru setengah udah ngos-ngosan. Asli...!!! https://youtu.be/pcYYUU5tIxU  

- Olah raga 30 menit (ringan) di rumah: https://youtu.be/cvEJ5WFk2KE 

- dan masih banyak lagi agar ga bosen dalam berolahraga....

Sementara ini dulu cerita saya tentang diabetes hari ini. Terima kasih dan semoga menginspirasi.