Artikel Utama

Catatan ke-32: Transformasi

31 Januari 2022

Catatan ke-35: Thanks to Diabetes Melitus Type 2 (DMT2)

Catatan ke-35: Thanks to Diabetes Melitus Type 2 (DMT2)


31 Januari 2022 | 

Lho, kena DMT2 kok malahan "terima kasih". Orang yang aneh! Okey, ini alasannya.
Sebelumnya, saya ga menyangka akan menjadi bagian dari penyandang gelar DMT2. Namun sudah garis tangan seperti itu, mau gimana lagi? Muterin waktu ke masa lalu jelas ga bisa. Iya kan..?

Pada umumnya, ada beberapa respon dari orang yang tervonis DMT2, yaitu:
  1. Syok, depresi, stress
  2. Ngomel-ngomel sendiri (ga tahu siapa yg disalahkan).
  3. Meratapi nasib, putus asa
  4. Enjoy saja, cuek
  5. (yang aneh) Berterima kasih

Awalnya, saya mengalami respon yg No.1 itu. Namun saya sangat sadar, hal itu tidak akan merubah keadaan dan akan menghambat produktivitas saya di masa depan. Tindakan yang saya ambil selanjutnya adalah mempelajari tentang DMT2. Apa saja yang saya pelajari?

  1. Akar masalah dari DMT2
  2. Karakteristik DMT2
  3. Dampak jangka pendek dan jangka panjang dari DMT2
  4. Pengelolaan DMT2

Dari proses hampir 4 bulan "berpacaran" dengan DMT2 itu, saya mendapatkan berbagai informasi dan wawasan baru. Termasuk yg terpenting adalah: perubahan pola hidup yang lebih sehat. Karena sebetulnya hal itu merupakan obat PALING AMPUH dari DMT2 dalam jangka panjang.
Namun yang menarik dari itu semua, saya mendapatkan pembelajaran tentang metabolisme tubuh. Hubungan DMT2 dengan sistem pencernaan, enzim, hormon, nutrisi, dll. Hal itu membawa saya untuk berpandangan lebih luas tentang kesehatan, tidak hanya terbatas pada DMT2. 

Jadi, bagi saya, apakah DMT2 merupakan "mudharat" atau "manfaat"?

Setelah saya timbang2, saya berkesimpulan: 

_Thanks to DMT2_

25 Januari 2022

Catatan ke-34: Faktor keturunan yang 10% itu ternyata menjadi salah satu penentu DM

Catatan ke-34: Faktor keturunan yang 10% itu ternyata menjadi salah satu penentu DM


25 Januari 2022 | 

Tulisan ini merupakan lanjutan dari diskusi saya dengan dokter spesialis jantung teman SMA saya yang pernah saya tuliskan sebelumnya dengan judul: "Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA".
 
Saya akui, pemahaman saya agak keliru terkait dengan faktor KETURUNAN pada penderita DMT2...!!! Saya pernah baca jurnal  bahwa resiko DM yang disebabkan oleh faktor keturunan hanya 10%. Artinya apa? 90% DMT2 disebabkan oleh faktor selain keturunan (yaitu: pola hidup). Karena sepertinya belum pernah ada kasus orang normal berubah menjadi DMT2 dalam semalam karena diracun atau disantet... 🙏😁

Menurut teman saya tersebut, faktor keturunan tidak terlepas dari RESIKO DMT2. Ini bukan berarti orang DMT2 anaknya sudah pasti DMT2 juga lho ya... Hati-hati dengan interpretasi ini. Yang ingin saya tekankan adalah RESIKO-nya. Artinya apa? Seseorang yang orang tuanya memiliki riwayat DMT2 harus berhati-hati dengan KEMUNGKINAN dia terkena DMT2.

Teman saya tersebut mencontohkan begini:

Ada dua orang sama-sama obesitas, katakanlah si A dan si B. Orang tua si A punya riwayat DMT2 sedangkan orang tua si B tidak punya riwayat DMT2. Meskipun keduanya punya RESIKO terkena DMT2 yang disebabkan oleh obesitas tersebut, namun si A memiliki peluang terkena DMT2 2x lipat dari pada si B. Hal inilah yang (mungkin) menyebabkan orang sama-sama gemuk namun tidak mesti semuanya terkena DMT2.

Kesalahan pemahaman saya terletak di mana? Saya kira faktor keturunan tersebut merupakan RESIKO yang terpisah (parsial) dan bobotnya hanya 10%. Namun ternyata, dari penjelasan teman saya itu, faktor keturunan merupakan RESIKO pengali. Jadi dia bilang: “Jika kamu mengalami obesitas, dan orang tua kamu pernah ada yang terkena DMT2, maka resiko terkena DMT2 menjadi 2x lipat dari orang yang bapak/ibunya normal”. Kenyataannya, (alm.) ayah saya kena DMT2 di usia 40 tahun, stroke di usia 52 tahun dan serangan/gagal jantung di usia 53 tahun. Mungkin karena beliau hanya minum obat dari dokter namun tidak mau merubah pola hidup (cerita ibu saya).

Di sinilah letak edukasi sangat penting! Bagi siapa saja yang terkena DMT2, sebaiknya mulai menerapkan pola hidup sehat agar: 1) Terhindar dari komplikasi akibat GD tinggi terus-terusan, dan 2) Memberikan contoh pola hidup sehat kepada anak-anaknya agar mereka terhindar dari resiko yang lebih besar terkena DMT2.

Faktor keturunan + Pola hidup sehat = (masih ada) RESIKO DMT2 sebanyak 10%
Faktor keturunan + Pola hidup buruk = Fixed kena DMT2
Saya sudah mengalaminya....!!!
Faktor keturunan + Pola hidup buruk => Obesitas => Fix DMT2.

Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika interpretasi saya masih banyak kelirunya.... 🙏🙏🙏

23 Januari 2022

Catatan ke-33: Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA

Catatan ke-33: Advice dokter spesialis jantung, teman satu kos waktu SMA


23 Januari 2022 | 

Tadi sore sekitar habis Asar, saya berkesempatan untuk diskusi via telp. tentang DM dengan teman SMA saya. Dia teman satu kos dan sekarang menjadi dokter spesialis jantung. Dia agak terkejut juga ketika tahu bahwa saya terkena DM. Namun itu bukan point utamanya. Yang menjadi fokus pembicaraan adalah pencegahan komplikasi dari DM itu sendiri.

Mungkin sebagian besar anggota grup ini telah mengetahui bahaya dari DM, yaitu berbagai macam kemungkinan resiko komplikasi. Kalau GD tinggi itu mungkin ga terlalu terasa efeknya secara langsung, namun ketika GD tinggi terus-terusan, hal itu akan menyebabkan resiko komplikasi ke berbagai organ vital tubuh. Bisa jadi otak, jantung, ginjal, mata, dan sebagainya. Karena semua organ di tubuh terkoneksi dengan pembuluh darah sehingga kualitas darah yang jelek (GD tinggi) akan memberikan dampak negatif pada organ-organ tersebut.

Fokus dari diskusi saya dengan dia adalah tentang plak di pembuluh darah. Dan SALAH SATU pemicu terjadinya plak tersebut adalah GD tinggi (DM). Jadi meskipun HbA1C dan resistensi insulin sudah turun, bukan berarti aman. Mengapa? Karena selama GD tinggi (yang kita belum tahu kapan mulainya), sebenarnya telah terjadi endapan plak pada pembuluh darah. Plak itu akan luntur dalam jangka waktu cukup lama, sekitar 1-5 tahun (kata dia). Oleh karena itu, orang yang telah terdiagnosa DM, sebaiknya tetap mengelola DM-nya dengan baik agar tidak terjadi penyumbatan pada pembuluh darah.
Teman saya itu mengakui bahwa hasil HbA1C saya baik (5% = 90-an mg/dL) dan resistensi insulin saya juga baik (1,4 < 2,0). BMI saya sudah bagus karena sudah masuk ke kondisi ideal dari yang semula obesitas tingkat 1. Namun demikian, dia sangat menyarankan saya untuk menjaga semua indikator tersebut. Berapa lama? Ya selama mungkin! Agar plak-plak yang telah terbentuk di pembuluh darah saya dapat berkurang. Apalagi saya cerita bahwa beberapa komplikasi DM telah saya rasakan sebelumnya (seperti: penglihatan kadang kabur, sering masuk angin, infeksi telinga setahun lebih, dll.). Saya bilang bahwa setelah treatment IF, LK dan Olah raga selama 3 bulan, semua gejala tersebuh hilang. Namun bukan berarti saya sudah sembuh. Bekas/dampak yang ditimbulkan oleh GD tinggi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, yaitu kondisi plak dalam pembuluh darah tidak dapat hilang dengan cepat. Dia juga menyinggung tentang profil lemak yang berpotensi menambah plak tersebut, serta pengelolaan stress yang baik (Ojo mikir nemen-nemen sing gawe stress...!!!). Dan yang paling menarik dari statement-nya setelah tahu saya melakukan IF 16 jam, LK dan olga serta hanya minum obat GD (metformin) 4 hari saja di awal diagnosa adalah: "Jika pasien DM bisa mengelola pola hidupnya dengan baik, sebenarnya obat merupakan opsi terakhir". 

Dari pembicaraan tersebut saya menarik kesimpulan:
  1. DM itu hanya salah satu penyebab dari gangguan kesehatan, karena jika dilihat secara komprehensif, kegagalan organ vital dapat disebabkan oleh hal selain DM
  2. Memang DM merupakan "mother of disease", namun demikian saya tidak boleh abai dengan penyebab lainnya, seperti profil kolesterol yang buruk, serta keseimbangan enzim dan hormon sebagai penyokong sistem metabolisme tubuh
  3. Pengelolaan stress merupakan satu hal penting yang harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan metabolisme.
  4. Diet terbaik (menurut) saya adalah diet dengan komposisi nutrisi yang cukup dan seimbang, serta harus dapat dilakukan dalam JANGKA PANJANG. 

Ternyata DM bukan sesuatu yang ngeri-ngeri amat asal bisa mengelolanya dengan baik. Memang butuh banyak informasi untuk tahu tentang cara-cara mengelola kesehatan secara komprehensif. Namun abai terhadap DM sangat berpotensi untuk memicu terjadinya stroke, gagal ginjal, serangan jantung, berkurangnya fungsi syaraf dan penyakit "berat" lainnya. 

Jika boleh saya mengatakan bahwa berfikir untuk "hanya" menurunkan GD adalah sesuatu yang "kecil". Masih ada hal "besar" lain yg berpengaruh pada kesehatan metabolisme tubuh. Itu semua tergantung dari mindset yang kita bangun. Karena MINDSET merupakan pondasi untuk BERPERILAKU lebih sehat. 

Semoga bermanfaat...
Catatan ke-32: Transformasi

Catatan ke-32: Transformasi


23 Januari 2022

Perubahan cukup ekstrim yang membuat saya senang namun "menghancurkan" hati orang-orang di sekitar saya (kecuali istri saya). 

Pada awal saya terdiagnosis DM pada 30 Sept 2021, pikiran saya yang pertama adalah agar bisa segera pulih, mencegah komplikasi. Hasil belajar saya di awal kena DM adalah mengurangi BB. Ya! Karena kelebihan lemak menimbulkan resistensi insulin dan berbagai macam inflamasi. Akhirnya sy membuat target turun BB ke BMI ideal. Waktu itu awal melakukan treatment pada minggu pertama Oktober 2021, seingat saya BB = 83-85 Kg. Sekarang, BB sudah ideal di 70 Kg. Alhamdulillah....

Namun demikian, ada yg ga terima dengan penurunan BB saya yg cukup ekstrim, sekitar 15 kg dlm waktu 3 bulan. Itulah persepsi orang... Karena sebelumnya sy terlihat montok (gendut), sekarang langsing (ideal). Namun apabila persepsi itu saya ikuti, maka tentu akan menggoyahkan tekat saya dalam memperbaiki kondisi kesehatan saya. 

Berdasarkan pengalaman saya, bagi yg baru kena DMT2, evaluasi berat badan (BB) dulu. Klo overweight, apalagi obesitas, lakukan penurunan BB menuju ke BB ideal. Mau pakai IF, diet keto, defisit kalori, silahkan... Asal pertimbangkan kondisi tubuh. Hasil penurunan BB tergantung dr diet yg dipilih dan konsistensinya.

Ketika sudah ideal, pertahankan BB tsb. Toh jika BB ideal, rasa sehat akan bertambah. Enteng, ga mudah capek, dan lebih bersemangat. 

Catatan saya, ada perbedaan BB turun karena diet vs BB turun karena DM. Kalau makan banyak tp BB turun, itu menandakan resistensi insulin tinggi. Namun jika BB turun karena diet, penurunan tsb memang dikarenakan asupan glukosa rendah sehingga proses pembakaran lemak tubuh (ketosis) berlangsung. Jika resistensi insulin turun, maka BB akan stabil.

Setelah BB ideal, resistensi insulin turun, mulai fokus pada perbaikan sistem pencernaan. Yang saya lakukan adalah konsumsi probiotik agar bakteri baik (mikrobiom) lebih banyak sehingga keseimbangan enzim dan hormon dapat lebih ideal. Paling tidak, itu yg saya pahami sd saat ini.

Proses ketika menurunkan BB itulah kunci dari treatment DM. Karena pada proses itu, terjadi pembiasaan "New Normal" terkait makanan dan minuman yg kita konsumsi. Contoh: awalnya sy melakukan diet low karbo utk mengejar "kesembuhan" DM saya. Namun seiring dg proses, saat ini malah ga tertarik utk makan nasi dkk. Bukannya benci nasi, namun kebiasaan baru itulah yg menyebabkan saya lebih memilih sayuran dr pada nasi, mie dll. Mindset berubah dari "makan enak" menjadi "kecukupan nutrisi". 

Melakukan treatment sambil belajar merupakan langkah ideal. Saya jadinya tahu alasan2 dibalik treatment yang saya lakukan tersebut. Hal itu akan menambah dan mempertahankan motivasi dalam mengubah pola hidup. Tentunya dalam jangka panjang.

Semua proses butuh perjuangan dan "laku prihatin", khususnya bagi yg DM. 

Semoga manfaat 🙏🙏🙏

22 Januari 2022

Catatan ke-31: Mengawali pelajaran tentang "Microbiome"

Catatan ke-31: Mengawali pelajaran tentang "Microbiome"


22 Januari 2022 | 

Saya tertarik dengan konsep ini:

Akar masalah DM tipe 2 sebenarnya bukan berhenti di sel beta pankreas dan resistensi insulin, namun lebih jauh dari itu, yaitu bakteri yang ada di usus kita (microbiome). 

Menurut saya, terlalu banyak pembahasan tentang gejala-gejala (symptoms) DM tipe 2, namun masih sedikit yg membahas akar masalahnya. Padahal dengan tahu akar masalah maka masalah tersebut akan dapat diatasi dengan tepat dan efektif (itu pelajaran yg saya dapat dr promotor ketika konsultasi proposal disertasi)

16 Januari 2022

Catatan ke-30: Hubungan GD Puasa, GD2JPP dan Homa-B sebelum divonis DMT2

Catatan ke-30: Hubungan GD Puasa, GD2JPP dan Homa-B sebelum divonis DMT2


16 Januari 2022 | 

Saya ingin melanjutkan postingan saya tentang isi dari jurnal "Type 2 diabetes: Etiology and reversibility" yang ditulis oleh Roy Taylor pada tahun 2013. Postingan saya sebelumnya dapat dibaca melalui: "Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya".

Dalam jurnal tersebut, saya tertarik pada 3 buah gambar yang disusun berurutan dari atas ke bawah. Di mana, gambar tersebut menunjukkan hubungan GD Puasa, GD2JPP dan Homa-B sebelum divonis DMT2. Satuan waktu (tahun) dalam gambar tersebut dimulai dari beberapa tahun sebelum seseorang divonis mengidap DMT2, yang ditandai dengan hasil Gula Darah Puasa (GDP) sekitar 7,5 mmol (135 mg/dL), GD2JPP sekitar 12 mmol (216 mg/dL) dan HOMA-B sekitar 60-an %.
Jujur sekali, saya ngeri setelah melihat grafik itu karena batasan2 dari "vonis" DM tersebut telah saya lalui semuanya. GD Puasa pernah 307 mg/dL dan Homa-B tinggal 47,1%. Ternyata saya memang positif DMT2. Tapi ga apa-apa, saya sudah menerima dan sekarang berfikir untuk menerapkan solusinya.


Yang menarik dari grafik tersebut (dan uraian dalam jurnal) bahwa sebenarnya sebelum seseorang divonis DMT2, sudah ada tanda-tandanya. Paling tidak, 1-2 tahun sebelum vonis itu datang, sudah ada tanda-tandanya. Ini yang disebut dengan kondisi Pre-Diabetes (menurut saya). Ketika GD Puasa & GD2JPP naik, ternyata di saat itu mulai terjadi penurunan kapasitas sel beta pankreas. Itu harus disikapi dengan serius dan hati-hati. Dan itu terjadi bukan seminggu-dua minggu, namun 1-2 tahun. 

Kalau boleh saya ingin memberikan analogi pada mesin mobil yang mengalami overheat (karena saya pernah mengalaminya sendiri):
Ketika sistem pendingin mobil mulai bermasalah yang disebabkan oleh: air radiator kotor, radiator mampet, adanya kebocoran di sistem pendinginan, maka otomatis proses pendinginan mesin tidak maksimal. Pada kondisi itu, mungkin indikator temperatur pada dashboard mobil akan naik. Nah, driver yang baik ketika melihat melihat indikator temperatur naik, pasti akan berhenti untuk mendinginkan mesin mobil. Paling tidak membuka kap mobil dan memeriksa kondisi dari sistem pendinginan tersebut. Tujuannya apa? Agar tidak terjadi overheat mesin mobil sehingga membuat mesin jadi rusak. Bagi driver yang "asal-asalan" injak gas (kurang pengalaman), dia ga peduli indikator temperatur naik. Yang penting mobil tetap jalan dan sampai tujuan, meskipun resiko mesin rusak semakin besar.
Tanda-tanda DMT2 sebenarnya dapat dirasakan sebelumnya. Ini terjadi pada kondisi Pre-Diabetes. Pada analogi di atas, hal ini terjadi ketika indikator temperatur naik. Apa yang seharusnya dilakukan? Ya berhenti dan menepi. Periksa kondisi tubuh dengan melakukan beberapa tes lab agar tahu dengan jelas keadaannya. Jangan asal hajar saja dan berasumsi yang macam-macam. Bisa cek GD Puasa, HbA1C atau Insulin Puasa (untuk tahu resistensi insulin dan kapasitas sel beta pankreas). Jika hasil tes memang menyatakan pada kondisi Pre-Diabetes, ya lakukan treatment atau ikhtiyar untuk mengembalikan kondisi tubuh ke normal, dan jangan sampai masuk ke kondisi DMT2.

Percaya saja, biaya turun mesin mobil lebih mahal dari pada memperbaiki sistem pendingin mobil (radiator dkk.). Saya jamin akan menyesal di belakang hari. Hal ini telah saya alami ketika mesin mobil saya rusak saat naik ke gunung. Padahal sebelumnya saya sudah kepikiran untuk service radiator (pada akhirnya tidak saya lakukan karena malas dan waktu terbatas). Jika dibandingkan, biaya service radiator sebesar Rp200an ribu jauh lebih murah dari pada biaya turun mesin mobil diesel sebesar Rp8 jutaan. Bahkan kalaupun ganti radiator yang baru seharga Rp1 jutaan, itu masih jauh lebih murah dari pada biaya turun mesin.

Sayangnya, organ dalam kita dijatah 1 saja. Seperti pankreas sebagai penghasil insulin (terkait tes HOMA-B), jumlahnya hanya 1. Teknologi transplantasi pankreas masih dalam uji coba dan terus dikembangkan. Yang pasti akan sangat mahal dan beresiko. Lain dengan spare part mobil yang jumlahnya sangat banyak. Mau ganti mesin (switch engine) juga bisa. 
Mungkin rekan-rekan di sini yang memang sudah positif terkena DMT2 sebaiknya menerima kondisi dan tetap berikhtiyar untuk memperbaiki kualitas kesehatannya. Ada berbagai metode, namun pertimbangkan yang dapat dilakukan dengan enjoy dan BERKELANJUTAN (jangka panjang). Mau diet ketofastosis, low karbo, very low karbo, atau pakai herbal/medis, silahkan saja. Namun pelajari resiko dari masing-masing treatment tersebut. Yang jelas, berfikirlah untuk keberlanjutan jangka panjang. 

Yang sedang menyongsong DMT2 (kondisi Pre-Diabet), belajarlah dari yang telah divonis DMT2. Berhentilah sejenak dan berfikirlah untuk mulai mengubah pola hidup sehat. Gunakan otak dan sumber daya yang ada untuk belajar tentang kesehatan. Sudah banyak sumber di jaman internet saat ini. Jangan sampai terlanjur masuk ke kondisi DMT2 sehingga akan memerlukan "laku prihatin" yang lebih berat dalam mengelola kondisi tersebut.

Dan bagi yang masih normal, bersyukurlah. Jaga amanah Tuhan yang berupa kesehatan tersebut, karena itu merupakan salah satu aset yang "mahal" ketika sudah merasakan sakit. Mulai buka pikiran dengan pengetahuan tentang kesehatan. 

Jangan sampai seperti saya, abai terhadap "indikator" DMT2 yang telah menyala sahingga divonis DMT2.

Semoga tulisan ini bermanfaat....
Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya

Catatan ke-29: Video yang merubah mindset saya


16 Januari 2022 | 

Sebelumnya saya berterima kasih pada Dr. Jason Fung yang telah menyebarkan video seminar/kuliahnya tentang mengelola diabetes. Video itu berjudul: "Two Big Lies about Type 2 Diabetes" (link: https://youtu.be/FcLoaVNQ3rc). Saya telusuri video-video dari Dr. Fung tersebut dan memang terjadi pro dan kontra. Yang mempermasalahkan bukan orang awam biasa seperti saya, namun para ahli/pakar kesehatan. Namun apapun itu, melalui video tersebut, saya dapat mengubah mindset dan mendapatkan hasil positif secara signifikan setelah melakukan treatment yang disarankan oleh Dr. Fung. Thanks Dr. Fung....

Sebelum saya divonis DM "tanpa sengaja" dengan hasil lab GD Puasa 307 pada 30 September 2021, sebenarnya beberapa komplikasi telah saya alami. Namun saya ga sadar jika itu merupakan komplikasi akibat GD tinggi. Mau tahu komplikasi apa saja? Ini listnya:
  1. Infeksi telinga kanan selama 1 tahunan, mulai awal 2020
  2. Caries (pengeroposan) gigi geraham kiri atas selama 3 bulan
  3. Sering pipis dan selalu haus 
  4. Sering masuk angin (2-3 kali seminggu selalu blonyohan/kerokan minyak GPU)
  5. Tidak fokus dalam berfikir
  6. Makan banyak tapi BB turun

Semalam, saya tonton video itu lagi dan mencoba mencari salah satu jurnal yang digunakan Dr. Fung dalam seminar/kuliah-nya tersebut. Akhirnya ketemu dan saya sangat tertarik untuk membacanya. 
Jurnal yang ditulis oleh Roy Taylor dengan judul "Type 2 diabetes: Etiology and reversibility" yang diterbitkan di Jurnal Diabetes Care volume 36(4) tahun 2013 halaman 1047–1055 (link: https://doi.org/10.2337/dc12-1805), cukup membuat saya “tersenyum”. Ternyata (mungkin) beranjak dari jurnal tersebut, para “pakar” diet, bisa meng-klaim bahwa Diabetes Tipe 2 (DMT2) dapat diatasi tanpa obat medis. Saya paham itu, hahaha.....

Dalam jurnal tersebut, salah satu bagian terpenting yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini adalah di bagian “Implication for management of type 2 diabetes”. Saya kutip sedikit statement yang saya terjemahkan bebas:
“Peran aktivitas fisik harus diperhatikan. Peningkatan aktivitas fisik harian menyebabkan penurunan "fatty liver” (43), dan satu jenis olahraga secara substansial menurunkan lipogenesis de novo (39) dan VLDL (very low density lipoprotein) plasma (92). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontrol kalori yang dikombinasikan dengan olahraga jauh lebih berhasil daripada pembatasan kalori saja (93). Namun, program olahraga saja tidak menghasilkan penurunan berat badan bagi orang paruh baya yang kelebihan berat badan (94). Penurunan berat badan awal yang diperlukan membutuhkan pengurangan substansial dalam asupan energi. Setelah berat badan turun, kestabilan berat badan paling efektif  dapat dicapai dengan kombinasi diet dan aktivitas fisik. Latihan aerobik dan pembatasan kalori merupakan upaya yang efektif (95). Faktor terpenting adalah keberlanjutan.”
Saya memegang kuat kalimat terakhir dari kutipan di atas. KEBERLANJUTAN...!!! Jadi dalam mindset saya, apabila ingin menjaga agar DM tidak mengarah pada komplikasi, lakukan upaya yang BERKELANJUTAN. Oleh karena itu, tujuan utama saya selama 3 bulan melakukan Intermittent Fasting (IF), Diet low karbo dan olah raga beban/HIIT sebenarnya untuk membentuk perilaku baru (NEW NORMAL) dalam mengelola diabetes yang saya alami.

HbA1C saya boleh turun dari 8,2% menjadi 5,0%. Berat badan saya yang semula sekitar 85 Kg boleh turun menjadi 70 Kg dalam waktu 3 bulan ini sehingga saya masuk ke dalam BMI ideal (TB = 173 cm; BB = 70 Kg). Resistensi insulin (HOMA-IR) = 1,4 yang menunjukkan saya normal ( HOMA-IR < 2). Namun mau berapa lama mempertahankan kondisi itu jika perilaku tidak berubah? Jawaban logisnya adalah PERUBAHAN PERILAKU. Ingat, saya dulu orang normal, tidak punya masalah apa2 terkait sindrom metabolik. Namun karena perilaku makan banyak jarang gerak, akhirnya saya mengalami obesitas dan akhirnya berakhir di DMT2. Saya ga mau DMT2 berlanjut ke komplikasi.

Pemikiran saya:
Jika ingin tahu tentang kondisi tubuh terkait DMT2, maka lakukan screening awal. Ga usah menebak-nebak apakah saya kena DMT2 atau ga? Lha wong sudah masuk ke Pre-Diabetes saja sudah “zona kuning” kok. Tes-tes yang sudah pernah saya lakukan antara lain:
  1. GD Puasa
  2. Glucose Tolerance Test (GTT)
  3. Insulin puasa (untuk menentukan HOMA-IR & HOMA-B)
  4. Profil lemak

Dari hasil tes tersebut, saya positif DM dan lebih spesifik lagi, masalah saya di penurunan kapasitas sel beta pankreas. Dengan demikian, saya bisa fokus pada AKAR MASALAH DMT2 yang saya hadapi. 
Namun dari itu semua, saya menekankan pada KEBERLANJUTAN treatment yang saya lakukan agar kualitas hidup lebih baik, lebih sehat sehingga mimpi besar saya dapat saya capai. Klo sakit, produktivitas hidup akan berkurang. Yakin deh....

Semoga bermanfaat....