Artikel Utama

Catatan ke-32: Transformasi

Chapter 1. Depresi setelah tahu GD Puasa 307

Silahkan membaca Chapter 1 dari buku ini terlebih dahulu atau langsung order dengan klik

"ORDER BUKU"


Chapter 1. Depresi Setelah Tahu GD Puasa 307


Sebelumnya saya tidak menyangka jika akan terkena penyakit Diabetes Militus (DM) atau sering disebut dengan penyakit gula atau kencing manis, meskipun sebenarnya saya sangat beresiko terkena penyakit itu. Mengapa? Ada beberapa alasan yang mendasari:
  • Saya keturunan pengidap DM
  • Obesitas yang saya alami (rekor BB 95 Kg dengan TB 173 cm è Obesitas level 1 dengan Indeks Massa Tubuh = 31,7)
  • Pola hidup yang jarang gerak tapi makan terus dan kerja sambil duduk di depan laptop
Saya kelahiran tahun 1984 sehingga waktu mengetahui bahwa saya terkena DM, usia saya 37 tahun. Dari mana saya tahu jika saya terkena DM? Hasil tes gula darah (GD) puasa yang menunjukkan angka 307. Untuk ukuran GD Puasa, angka tersebut sangat tinggi...!!! Lha, batasan normal kan kurang dari 100 mg/dL. Ada juga lab yang memberi batasan kurang dari 110 mg/dL. Tapi ya..., pokoknya tinggi banget deh angka 307 itu. Ngeriiiii...!!!! Berikut (gambar 1) merupakan hasil tes GD Puasa saya pada tanggal 30 September 2021.

Gambar 1. Hasil tes GD Puasa

Hasil GD Puasa yang tentunya bikin saya depresi. Mengapa? Waktu itu saya sedang menempuh pendidikan S3 di bidang Ilmu Pertanian. Proses studi itu harus saya selesaikan karena menyangkut tanggung jawab pada pemerintah sebagai pemberi beasiswa. Saya merasa usia masih muda (kurang dari 40 tahun) dan anak-anak saya masih kecil. Apa jadinya jika saya menjalani sisa umur saya dengan DM? Ketergantungan pada obat seumur hidup? Ancaman penyakit karena komplikasi dari DM? Kereeeen.....!!! Kok beban yang terbayang di pelupuk mata sangat berat ya? Hiks...

Kegiatan penulisan revisi proposal disertasi setelah seminar dan ujian proposal pada 27 Agustus 2021 kemarin langsung terhenti...!!! Sekitar 2 minggu setelah saya menerima hasil tes GD Puasa tersebut, saya habiskan waktu (pagi, siang, malam) hanya untuk mencari sumber-sumber informasi tentang DM. Pemikiran dan ceramah dari para pakar kesehatan, dokter, Doktor, praktisi, saya tonton habis melalui Youtube. Literatur ilmiah tentang DM juga saya telusuri melalui SCOPUS dan GoogleScholar, dua sumber jurnal ilmiah yang sudah tidak asing karena hampir setiap hari saya akses untuk mencari jurnal-jurnal terkait disertasi yang saya kerjakan.

Oh ya, saya belum menyinggung tentang konsultasi dokter setelah hasil lab GD Puasa 307 saya terima. Dengan berbekal hasil lab tersebut, saya ke dokter. Percakapannya kurang lebihnya begini:

Saya : “Dok, mau konsul. Ini hasil lab GD Puasa saya. Menurut dokter bagaimana?”
Dokter : (sambil melihat hasil lab) “Wah, tinggi banget ya pak?”
Saya : “Iya dok. Tapi kok saya ga merasakan gejala yang aneh-aneh ya?”
Dokter : “ Mungkin karena bapak masih muda. Usia kurang dari 40 tahun. Jadinya organ-organ bapak belum banyak yang terkena dampak dari GD tinggi.”
Saya : “Oh, gitu ya dok? Jadi saya masih sehat?”
Dokter : “Kalau dengan GD Puasa segini, ya bapak harus hati-hati. Diabetes itu yang dikhawatirkan adalah komplikasi ke organ-organ vital, seperti: ginjal, liver, jantung, saraf dan lain-lain. Bapak mulai diet ketat ya. Kurangi gula dan yang manis-manis. Gorengan juga distop dulu. Nasi diganti dengan nasi merah atau kentang.”
Saya : “Saya dengar orang dengan DM harus minum obat seumur hidup ya dok?”
Dokter : “Untuk menjaga GD memang salah satunya harus minum obat terus menerus”
Saya : “Oh, gitu ya dok? Terima kasih atas sarannya” (sambil menunduk)

Dokter lalu menuliskan resep obat untuk menurunkan GD saya tersebut. Dan memang, sehari setelah saya konsultasi ke dokter, GD saya masih tinggi (lebih dari 200), meskipun telah minum obat dokter (metformin). Haduh.....


Gambar 2. Hasil cek GD Sewaktu setelah makan disertai minum obat dokter

Yang terngiang-ngiang di kepala saya dari perkataan dokter waktu itu adalah “...bapak masih muda, organ-organ bapak belum banyak yang terkena dampak...”. Dengan statement seperti itu pada akhirnya memberikan modal semangat bagi saya untuk pulih. Dengan itu saya mulai memasuki dunia Diabetes Militus (DM), sebuah dunia yang asing bagi saya dan saya pandang dengan sebelah mata. Kesombongan diri karena “merasa masih muda” membuat abai tentang kondisi DM tersebut. Karena, setelah saya gali informasi, prevelensi penderita DM di Indonesia telah bergeser dari usia 40 tahun menjadi 20 tahun. Artinya apa? Kalau dulu orang-orang yang kena DM biasanya berusia mulai 40 tahun, maka sekarang banyak orang-orang muda yang berusia 20 tahun telah menjadi penderita DM. Lebih jauh lagi, apa alasan di balik itu? Alasan paling tepat adalah pola hidup! Makanan yang berbasis karbohidrat dan gula serta jarang gerak menyebabkan resiko DM meningkat pada anak-anak muda. Saya bukan ahli kesehatan yang mungkin tepat menyatakan hal itu, namun paling tidak, hasil evaluasi pada diri saya yang “ketahuan” kena DM di usia 37 tahun menyatakan demikian. Terlalu banyak makan karbohidrat (nasi, mie, cemilan berbasis tepung-tepungan dan gula), minuman berkadar gula tinggi, kurang olah raga, dan manajemen istirahat yang buruk (sering begadang) membuat saya terkena DM di usia kurang dari 40 tahun.

Kembali lagi ke statemen dokter tadi, saya memiliki keyakinan bahwa kondisi DM saya dapat diperbaiki atau dipulihkan. Mungkin pemikiran ini tidak umum bagi penderita DM yang telah terbiasa mengkonsumsi obat untuk menjaga GD-nya di kisaran normal. Namun demikian, saya berpendapat bahwa belum terlambat untuk memperbaiki kondisi kesehatan diri ini. Hanya cara yang tepat dan dipilih belum ketemu saja. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menggali dan belajar lebih dalam tentang DM. Dengan kapasitas saya sebagai seorang dosen dan akses ke referensi ilmiah terbuka luas, saya yakin akan menemukan cara yang tepat dan efektif untuk kembali “normal”. Itu yang membuat saya bangun dari depresi dalam menghadapi kondisi DM ini.

Selain keinginan untuk belajar menemukan cara mengatasi DM, ada motivasi lain yang mendorong saya kembali ke “normal” atau bahasa populernya NEW NORMAL. Motivasi itu adalah:
  • Keluarga kecil saya yang harmonis dan bahagia dengan seorang istri yang patuh dan 2 anak yang lucu-lucu.
  • Saya tidak ingin mengulang sejarah yang sama, yang dialami almarhum bapak saya (cerita tentang almarhum bapak saya sehingga mampu memberikan motivasi kuat untuk melakukan “laku prihatin” dapat disimak pada video Cerita tentang bapak).
  • Impian saya untuk mendidik murid-murid (mahasiswa) saya sangat menggebu-gebu.
  • Saya benci sakit karena merusak rencana yang telah dibuat dan merepotkan orang lain, terutama keluarga.
  • Saya ingin hidup lama untuk meninggalkan jejak sejarah yang baik, demi kemanfaatan orang lain sebagai bekal menghadapi periode setelah mati.
>>> Lanjut baca ke CHAPTER 2. MENEMUKAN STATEMEN: REVERSE INSULIN RESISTANCE <<<